PDT. WEINATA SAIRIN: *KITA HARUS MEMBERI KARENA TUHAN TANPA HENTI TELAH MEMBERI*

0
1490

 

_”If you knew what I know about the power of giving, you would not let a single meal pass without sharing it in same way”_ (Buddha)

Hidup kita manusia diwarnai oleh aktivitas dan tindakan yang rutin dan berulang kita lakukan, dan yan acapkali tidak terlalu kita sadari. Aktivitas dan tindakan itu dalam bahasa yang netral, standar dan “sekuler” adalah *memberi*. Ya memberi, memberi dalam arti riil : memberikan sebuah benda atau memberi sesuatu yang non-benda. Memberi makan burung, memberi Tehaer, memberi _takjil_, memberi pinjaman tanpa bunga dapat kita kategorikan sebagai memberi secara riil, ada benda yang beralih dari kita kepada orang lain. Benda yang diberikan itu secara kasat mata bisa dilihat, dipegang, diraba. Tetapi juga ada jenis pemberian yang non benda karena “benda” yang diberi itu “tidak kelihatan”, namun bukan hoax! Contohnya : memberi harapan, atau menberi harapan palsu, memberi hati, memberi perhatian, memberi stimulans dan sebagainya, dan sebagainya. Dari sejarah tentang relasi manusia dengan kuasa yang Diatas, kita bertemu dengan istilah dari bahasa Latin : “do ut des”, artinya “aku memberi supaya kamu memberi”.

 

Secara praktis, biasanya “do ut des” itu dimaknai seperti ini. Ada banyak orang di zaman baheula yang memberikan sesajen (sesajian) di pohon-pohon besar di kampung karena dianggap pohon itu ada “yang menunggu”. Sesahen itu ada kembang 7 jenis ada makanan, yang digantung dan diletakan di pohon besar itu, agar sang “penunggu” senang dan memberikan kenyamanan bagi orang dikampung itu. Pada tahun 50-60an praktik seperti itu masih banyak kita saksikan. Filosofi “do ut des” bisa saja masih tetap hidup di zaman now, dalam wujud yang modern. Medium yang digunakan tentu saja tidak lagi konvensional dan arkhaistis dengan menggunakan kembang, dupa, air harum tetapi menggunakan _angpouw_ bahkan sistem perbankan, ATM atau transfer.

Baca juga  Izinkan Pameran Rokok Internasional, Surabaya Dinilai Gagal sebagai Kota Layak Anak

 

Dalam kehidupan agama-agama aktivitas memberi itu amat banyak ragamnya, sebab secara prinsip kehidupan lembaga keagamaan itu, termasuk biaya bagi pejabatnya yang full time memang berdasarkan ‘pemberian umat’. Dalam kehidupan agama misalnya kekristenan amat populer ayat Alkitab yang berbunyi “terlebih bahagia memberi _daripada_ menerima. Dalam konteks kehidupan keagamaan maka istilah “memberi” itu diberi makna teologis sehingga istilah yang digunakan juga biasanya bersumber dan berangkat dari kitab suci misalnya istilah “persembahan” yang cukup banyak jenisnya sesuai dengan aturan dan teologi dari dari suatu denominasi Gereja. Di lingkup Saudara-saudara Muslim juga dikenal antara lain istilah amal, sedekah, zakat sebagai bagian dari kewajiban umat untuk mewujudkannya.

 

Semangat ‘memberi’ dalam konteks kehidupan, apalagi dalam konteks kehidupan beragama harus terus dipupuk dengan baik. Jiwa “memberi” telah sejak kecil ditanamkan oleh orang tua kita melalui nasihat dan teladan. Jika engkau punya dua buah dan temanmu atau saudaramu tidak memiliki benda itu, apalagi ia sangat memerlukannya, maka berikan kepadanya satu. Itu nasihat orangtua yang selalu disampaikan. Pembiasaan sikap memberi tidak saja membuat seseorang selalu terasah daya sensitivitasnya, simpati dan empatinya kepada orang lain, tetapi sekaligus juga melatih diri untuk mengembangkan sikap berbagi, sikap _caring_ dalam samudera kehidupan yang maha luas.

 

Dalam realitas empirik kita bertemu dengan orang-orang yang tidak pernah lelah memberi, membagi berkatnya kepada orang lain. Ia memahami diri sebagai “saluran berkat” bagi orang lain yang memang membutuhkan dukungan; ia berprinsip semakin banyak berkat yang ia salurkan kepada orang lain, semakin besar berkat yang akan ia terima dari Tuhan.

 

Sikap memberi, sikap dermawan, sikap ingin membantu acap lahir dari lembaga keagamaan, tokoh agama/tokoh masyarakat, komunitas keagamaan. Tatkala Paus Paulus VI menjadi Kardinal Archbishop kota Milan seorang pekerja sosial mendatanginya sambil menyatakan bahwa ia tidak tahu bagaimana caranya memberi makan orang-orang yang kelaparan. “Perabotanku ini bisa menjadi penyelesaian masalahmu. Jual beberapa untuk  memberi makan orang-orang yang membutuhkan” jawab Kardinal.

Baca juga  Membangun PLTN Berbasis Nuklir Hijau dan Visi Masa Depan yang Ramah Lingkungan

 

Lembaga atau komunitas keagamaan berdasarkan teladan dari para tokoh mereka, biasanya sangat terbuka untuk memberi bantuan kepada pihak lain sejauh memang mereka pihak yang ingin dibantu itu benar-benar membutuhkan. Lembaga keagamaan tidak pernah pelit/kikir untuk memberikan bantuan kepada pihak lain karena mereka sebagai lembaga sangat diberkati dengan bantuan yang diterima dari orang lain.

 

Bagi kita masyarakat Indonesia dengan tradisi gotong royong yang amat kuat, dan selalu dibanggakan ke mancanegara, sikap memberi dan saling bantu (untuk berbagai hal positif) memiliki arti amat penting, apalagi dikuatkan dengan dalil-dalil keagamaan. Tradisi memberi dan membantu yang dulu amat kuat tertutama di desa-desa, kini makin tersingkir dan punah tergerus oleh gaya hidup modern yang lebih mengedepankan individualisme.

 

Di masa depan tradisi memberi itu mesti trrus digalakkan, ditingkatkan dalam kehidupan masyarakat kita disemua level dan dimulai (lagi) dari lingkup yang paling kecil. Narasi-narasi agama tentang mulianya memberi harus terus digemakan bahkan melalui terminologi agama yang selama ini dikenal, misalnya amal, sedekah, persembahan, diakonia, dan berbagai istilah keagamaan lainnya.

 

Ungkapan Buddha yang dikutip dibagian awal tulisan ini tentang “the power of giving” sangat membuka pikiran kita untuk mendayagunakan apa yang kita miliki yang acap kita sia-siakan untuk membantu mereka yang membutuhkan. Kita acap tak sadar jika 10 butir nasi kita sisakan dipiring kita karena perut kita sudah terlalu kenyang dan 1000  orang yang lain membuat hal yang sama, berapa orang yang kita bisa bantu untuk mengisi perut mereka yang 2 hari belum terisi nasi?

 

Sebagai manusia ciptaan Allah termulia, mari kita budayakan kebiasaan *memberi*, ya memberi dengan ikhlas dan penuh kasih. Memberi bukan menyuap. Memberi bukan grativikasi. Memberi adalah ungkapan iman karena “terlebih bahagia memberi daripada menerima”. Memberilah dari apa yang ada bukan dari kelimpahan dan kelebihan. Dan sangat berharga jika kita memberi dari kekurangan kita.

Baca juga  PERINGATAN UNTUK PRESIDEN TERPILIH PRABOWO SUBIANTO.

 

Selamat berjuang. God bless.

 

*Weinata Sairin*

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here