_”Beati qui habitant in domo tua, Domine! Tuhan, berbahagialah orang yang diam di rumahMu”_
Kata “bahagia” mengalami multi interpretasi dari zaman ke zaman, sebab ada soal perasaan didalamnya, ada soal kenyamanan yang mewarnainya. Bagi generasi di zaman agraris zaman baheula mungkin kebahagiaan itu amat sederhana : orang bisa menanam (padi) pada waktunya dan bisa memanen juga pada waktunya. Amat simpel dan sederhana, mudah diukur, apalagi di zaman itu iklim masih sesuai dengan apa yang dipelajari murid sekolah SR dari buku Ilmu Bumi; belum ada soal rumah kaca, belum ada soal perubahan iklim, belum ada Protocol Kyoto, dan sebagainya, dan sebagainya. Apakah makna dan realitas bahagia di zaman _Now_? Ini tentu amat beragam definisinya dan praksisnya. Masyarakat umum misalnya kemarin terdeteksi amat bahagia sesudah pemimpin negeri mengumumkan bahwa telah terbit PP yang mengatur tentang THR, gaji bulan ke-13 bagi para ASN, TNI Polri, pensiunan. Mereka mulai mengkalkulasi benda-benda apa yang tercover dengan dana tersebut ditengah merangkaknya harga-harga bahan pokok menjelang hari raya keagamaan sekitar tiga minggu kedepan.
Cukup menarik bahwa Yesus menyebutkan tentang ucapan bahagia dalam Kotbah Di Bukit, sebuah narasi puitis yang amat terkenal tidak hanya di ruang lingkup ke kristenan. Dalam kotbahNya dibukit Yesus menyampaikan ucapan bahagia itu sebagai isu strategis yang penting digarisbawahi. Ucapan bahagia itu meliputi : berbahagialah orang yang miskin dihadapan Allah; orang yang berdukacita; orang yang lemah lembut; orang yang lapar dan haus akan kebenaran; orang yang murah hatinya; orang yang suci hatinya; orang yang membawa damai; orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran; orang yang dicela, dianiaya, difitnah karena Dia; bersukacita dan bergembiralah karena upahmu besar di surga (lihat Matius 5 : 3-12). Orang sekaliber Mahatma Gandhi sangat tertarik pada gagasan-gagasan yang ada dalam ucapan bahagia Yesus dan memberi inspirasi bagi Gandhi dalam melaksanakan perjuangan pada zamannya.
Bahagia, kebahagian dapat dikatakan merupakan impian dan obsesi setiap orang, siapapun dia, dan dimanapun ia tinggal : di perumnas, BTN, rusunawa, apartemen, di kampung atau kota. Ukuran dan kriterianya bisa berbeda sesuai dengan strata sosial seseorang. Bahagia dalam perspektif seseorang tidak melulu pada benda-benda kasat mata : emas, intan permata, rumah, lahan yang luas, kendaraan dan aset-aset lainnya, tetapi juga aspek-aspek batiniah yang acap kurang mendapat perhatian yang semestinya.
Bahagia bisa terjadi oleh faktor-faktor psikologis-teologis yang sama sekali tidak terdeteksi oleh mata. Seorang penulis merasa amat bahagia tatkala ia berhasil merampungkan novelnya dengan baik dan segera diluncurkan dalam sebuah acara khusus oleh penerbit. Ia tak peduli bahwa royaltinya baru akan ia terima tahun depan jika titik BEP dicapai oleh penerbit. Ia bahagia tiada terkira karena novel yang telah lama ditunggu para pembacanyanya akan segera terbit.
Pepatah yang dikutip diawal bagian ini menyatakan “berbahagialah orang yang diam di rumahMu”. Kata “rumah Tuhan” acapkali dimaknai sebagai “rumah ibadah” yaitu tempat umat melaksanakan ibadah agamanya; rumah yang didalamnya nama Tuhan dipuji dan dimuliakan oleh umat manusia, khususnya umat beragama. Bisa difahami jika diam dirumah Tuhan orang akan mengalami kebahagiaan penuh. Dirumah Tuhan tak ada aktivitas “sekuler” yang biasanya menimbulkan kegaduhan atau kehebohan bahkan konflik. Dirumah Tuhan hanya ada aktivitas tunggal, aktivitas memuji dan memuliakan nama Tuhan dalam beragam bentuk sesuai dengan ketentuan agama. Pada realitas orang berorientasi terfokus kepada Yang Transenden maka saat itu suasana bahagia akan mewujud.
Kita semua srbagai umat beragama harus sering datang ke *rumah Tuhan* melakukan aktivitas keagamaan agar kita mengalami kebahagiaan sejati. Kebahagiaan yang kita peroleh dan nikmati di rumah Tuhan bukan kebahagiaan sekuler, kebahagiaan artificial yang temporer dan musiman, tetapi kebahagiaan ilahi, ‘ the divine happiness’, kebahagiaan yang tiada terukur oleh instrumen-instrumen sekuler. Kita memahami bahwa setiap senja menjelang berbuka, saudara-saudara kita yang menjalankan ibadah Puasa merasa _berbahagia_ karena pada hari itu dapat merampungkan ibadah puasa ditengah berbagai turbulensi kehidupan yang mengguncang. Mari kita terus membangun kehidupan pribadi, komunitas, bangsa yang penuh kebahagiaan dengan inspirasi dari Rumah Tuhan.
Selamat berjuang. God bless.
*Weinata Sairin*