_”Solus omnino est qui sine amico est. Orang yang tanpa sahabat itu terasing dari segalanya”._
Kehidupan seorang manusia yang standar, yang biasa dan normatif, adalah kehidupan yang berelasi; kehidupan yang berinteraksi. Tatkala diawal penciptaan, Tuhan tidak berhenti dengan hanya menciptakan manusia pertama bernama *Adam* seorang lelaki tetapi kemudian ada follow up dengan menciptakan manusia kedua, dari jenis kelamin berbeda, yaitu seorang perempuan, bernama *Hawa* maka kita semua sudah yakin bahwa Tuhan memang menginginkan manusia itu dalam posisi makhluk relasional, makhluk sosial dan bukan makhluk individual, yang hanya sibuk dengan dirinya sendiri, yang tertatih-tatih menelusuri lorong-lorong sejarah, dililit sepi dan terkapar nanar tanpa daya.
Hidup manusia sejak awal oleh Tuhan memang _diformat_ untuk hidup dan menghidupi _dualitas_, menyusuri _keduaan_ dan tidak menikmati kehidupan ini sendiri. Bahwa kemudian oleh karena faktor panggilan hidup, tugas pelayanan dan keputusan eksistensial seseorang itu tetap _bersendiri_ saja, realitas itu mestinya tetap di apresiasi.
Pada periode-periode awal sebelum Hawa dicipta, manusia Adam telah hidup dalam relasi, relasi dengan makhluk lain, dengan alam yang hijau lestari di zaman itu, karya Tuhan Yang Maha Esa, Sang Maha Pencipta. Sosok dan figur yang telah memilih untuk hidup _bersendiri_ dalam kenyataan empirik, mereka juga hidup dalam relasi komunikasi dan interaksi dengan manusia lainnya, diberbagai tempat dan level, dengan penuh sukacita dan bersemangat.
Manusia hidup menapaki zaman dengan berbagai dinamika yang dihadapinya, dengan berjuta tantangan dan persoalan yang menyekitarinya. Mereka bisa tetap eksis, bertahan bahkan sanggup mengembangkan peradaban dari zaman ke zaman antara lain karena kepiawaian dalam mengembangkan *komunikasi*.
Dari berbagai literatur kita diajak memahami ulang hakikat manusua yang amat penting sebagai makhluk berkomunikasi. Seorang pakar komunikasi Wilbur Schramm menyatakan bahwa setiap perkrmbangan besar komunikasi manusia diawali dengan terjadinya perkembangan besar dalam teknologi komunikasi. Teknologi komunikasi yang makin modern yang dihidupi manusia zaman ini memang amat mempengaruhi pola hubungan antar manusia bahkan mengubah total struktur kehidupan manusia secara menyeluruh.
Konon ada 2 aliran besar yang yang melihat kemampuan manusia berkomunikasi.
_Pertama_, *kreasionisme*, aliran yang memandang bahwa manusia bisa berkomunikasi karena memang diciptakan Tuhan untuk berkomunikasi dengan sesama dan manusia dilengkapi dengan kemampuan itu.
_Kedua_, *evolusionisme* yaitu aliran yang memandang bahwa kemampuan berkomunikasi manusia itu berkembang seiring dengan perkembangan sosial-budaya manusia dari waktu ke waktu.
Dalam kenyataan praktis kecanggihan pola komunikasi manusia memang didorong oleh dua aspek yang berkaitan satu sama lain, aspek kreativitas, kemampuan berkreasi, aspek evolusi yang terjadi karena perkembangan zaman. Hal yang cukup memprihatinkan kita dalam konteks perkembangan IT sekarang adalah meluasnya dan cepat menyebarnya konten-konten negatif dari dunia maya/medsos ke setiap orang yang bisa mendorong orang tertentu tertular konten negatif itu dan menyebarkannya ke lingkup yg lebih luas. IT dalam arti tertntu bisa membuat seseorang tercabut dari dunianya sendiri (teralienasi) dan sibuk mengurus gadget nya sendiri.
Salah satu wujud bahwa manusia itu makhluk sosial atau makhluk komunikasi adalah bahwa setiap orang mempunyai *sahabat*. Sahabat, teman, rekan, sobat karib adalah seseorang yang selalu menjadi mitra kita dalam berdiskusi, dalam curhat dalam menuangkan ‘keresahan’ yang menggumpal di kedalaman nurani kita. Sahabat itu tidak mengenal suku, agama, afiliasi politik, strata sosial, pendidikan dan sebagainya, dan sebagainya.
Sahabat adalah bagian dari diri kita; semua “kartu” kita diketahui oleh sahabat dengan baik. Dari segi rasa bahasa, kata “sahabat” lebih netral dan positif ketimbang kata “kawan” misalnya . Kata “kawan” yang kemudian membentuk kata “perkawanan” mempunyai nafas yang tidak terlalu positif. Kata “kawan” juga pernah digunakan oleh sebuah parpol sebagai panggilan kepada kader partai tersebut, sebagai pengganti kata “kamrad”. Itulah sebabnya kata “sahabat” lebih banyak digunakan dalam konteks yang formal, misalnya ada nama “Lembaga Persahabatan Indonesia -Amerika”.
Ada kisah menarik tentang Sahabat ini. Lincoln dulu sering menerima permohonan maaf yang jumlahnya ribuan dari para prajurit yang terlibat pelanggaran disiplin militer. Setiap permohonan maaf biasanya didukung oleh rekomendasi dari orang-orang berpengaruh. Suatu hari Lincoln menerima surat permohonan maaf dari prajurit tanpa rekomendasi dari sahabatnya. “Apakah orang ini tidak punya sahabat?” tanya Lincoln. “Tak ada seorang pun pak” kata ajudannya. “Jika begitu akulah yang menjadi sahabatnya” kata Lincoln.
Pepatah yang dikutip diawal bagian ini mengingatkan bahwa orang tanpa sahabat itu terasing dari segalanya. Mari dalam hidup ini kita memperbanyak sahabat. Jangan ada seorangpun yang kita tetapkan sebagai “musuh” kita. Ampuni lah musuh kita jika memang pernah ada dan jadikan dia sahabat kita. Hal itu tidak mudah tapi dalam naungan dan spirit bulan suci segala yang baik harus kita lakukan dengan niat baik dan ikhlas.
Selamat berjuang. God bless.
*Weinata Sairin.*