“Kindness in words creates confidence. Kindness in thinking creates profoundness. Kindness in giving creates love”. (Lao-Tzu)
Hidup itu sejatinya mesti diwarnai dan dilimpahi dengan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, sukacita, tekad semangat, pengharapan, jujur dan kerja keras. Baik ajaran agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, maupun lokal wisdom, nilai-nilai budaya, nasihat orang tua, kesemuanya telah memberi dasar yang sangat kukuh untuk melakukan kesemuanya itu. Hidup mesti dijalani dengan setia, mengalir saja; semuanya mengalir dan semuanya berubah kata embah Herakleitos di zaman baheula. Kita semua umat manusia menghidupi perubahan itu dari waktu ke waktu, dari zaman ke zaman. Kata seorang penulis, kita harus berubah, atau bertahan dan tergerus habis, jika kita kita menolak perubahan itu. Nilai agama yang sakral dan transendental itu memuat “pegangan kuat” agar dalam mengalir dan berubah itu nilai dasar keagamaan kita, tetap, “constant”.
Hidup yang keras, sulit dan garang acapkali membuat kita kehilangan rasa sukacita, gembira dan bersyukur dalam menjalani kehidupan ini. Hidup menjadi sebuah “beban” bahkan menjadi “keterpaksaan”. Dan bukan sebuah “panggilan”, panggilan untuk mengasihi orang lain, panggilan untuk menghadirkan damai sejahtera. Hidup yang gembira dan mengalir bukan hidup yang easy going, instant, tanpa arah, hidup yang “bagaimana saja nanti”, tapi sebuah hidup yang tetap dinamik, terencana, sukacita, yang bergantung kepada Kuasa Yang Transenden. Ungkapan raja Salomo amat menarik untuk disimak berikut ini “Hati yang gembira membuat muka berseri-seri, tetapi kepedihan hati mematahkan semangat. Hati yang gembira adalah obat yang manjur, tetapi semangat yang patah mengeringkan tulang” (Amsal 15:13, 17:22)
Sukacita, kegembiraan, sikap bersyukur memang harus selalu harus dinampakkan, walau dengan susah payah dan perjuangan berat. Ada banyak penggalan kisah masa lampau yang bisa memberi inspirasi. ‘Ketika bertemu dengan seorang Negro tua yang selalu bergembira meskipun hidupnya dililit banyak masalah, Albert Edward Wiggam seorang pengarang bertanya : “Paman Joe bagaimana anda mengatur diri anda untuk tetap bergembira dan tenang di tengah himpitan kesulitan?”. “Baiklah akan kukatakan kepadamu. Aku hanya belajar untuk ” bekerjasama” dengan persoalan-persoalan yang tak bisa kuhindari” Jawab paman Joe dengan tenang. Kata kunci disini adalah “kerjasama” dengan persoalan; bagaimana berdialog, lobby dan negosiasi dengan persoalan yang dihadapi sehingga akhirnya ada solusi.
Memang tidak mudah untuk melaksanakan kerjasama dengan *persoalan*. Kita harus memetakan persoalan itu dalam posisi yang tepat, memahami, mengkaji dan melakukan analisis dan kemudian mengurai satu per satu hingga akhirnya bisa diselesaikan pada waktunya dengan baik. Pengalaman Brahms cukup menarik untuk disimak. ‘Pada suatu malam Brahms menceritakan kisah penting kepada kawannya’. Belum lama ini aku mulai melakukan berbagai macam hal, memainkan simfoni-simfoni dan lain sebagainya tetapi tidak satupun dari pekerjaan itu berjalan dengan baik. Kemudian aku berfikir, mungkin saja aku sudah mulai terlampau tua; dengan gembira kuputuskan untuk tidak lagi menulis. Aku mempertimbangkan bahwa sepanjang hidupku aku sudah bekerja cukup tekun dan sudah cukup mendapatkan segalanya; disinilah kusadari bahwa aku belum memiliki rasa bebas atas usia tuaku serta aku belum bisa menikmati hari tuaku dalam kedamaian. Kesadaran semacam itulah yang menjadikan aku begitu bahagia, begitu memuaskan hatiku, begitu menggembirakanku. Kesadaran tentang semua itulah yang kemudian mendorongku untuk menulis lagi’
Kegembiraan itu amat diperlukan dalam hidup, kegembiraan, rasa sukacita tidak saja secara psikologis amat menguntungkan bahkan kegembiraan itu bisa berfungsi sebagai obat yang mujarab. Pepatah yang dikutip dibagian awal tulisan ini mengajak dan mendorong kita untuk mengembangkan *kindness*, “kebaikan” dalam sebuah tatanan kehidupan yang makin keras; garang, menafikan harmoni dan kenyamanan. Kebaikan dalam kata-kata, kebaikan dalam pemikiran, kebaikan dalam memberi harus makin dikedepankan dalam hidup didunia nyata dan hidup di di dunia virtual. Pengembangan “kebaikan” seperti itu akan mampu mengubah wajah dunia secara signifkan. Tiga unsur yang disebut dalam pepatah yaitu Kata-kata, Pemikiran, Memberi menjadi amat urgen untuk diwujudnyatakan dalam kehidupan masyarakat majemuk Indonesia pada level apapun juga.
Selamat Berjuang. God bless.
*Weinata Sairin*