Oleh: *Pdt. Dr. Andreas Yewangoe*
(Mantan Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia, PGI)
Beberapa waktu lalu terbit sebuah buku berjudul, Homo Deus, A Brief History of Tomorrow. Buku itu ditulis oleh Prof. Dr. Yuval Noah Harari, Guru Besar di Israel, aslinya dalam bahasa Ibrani, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Dengan segera buku ini menjadi salah satu bacaan terbaik dan direkomendasikan tidak kurang dari mantan Presiden Obama. Sebelumnya, Profesor ini menulis buku lain berjudul, Homo Sapiens, A Brief History of Human Kind. Kedua buku ini hendaknya dibaca semuanya agar kita memahami secara bulat jalan pikiran Sang Guru Besar.
Dalam Homo Sapiens ia melukiskan bagaimana manusia berusaha menguasai planet ini dengan kemampuan otaknya. Otak dan kemampuan manusia katanya, terus berkembang tanpa batas. Ia malah menyebutkan Homo Sapiens sebagai makhluk yang mengalami revolusi kognitip (the cognitive revolution). Sebagaimana kita tahu, setidak-tidaknya menurut teori evolusi Darwin, manusia sekarang(“modern”) adalah perkembangan maha panjang dari jenis-jenis spesis manusia dari “sederhana” hingga ke “modern”. Kita mengenal misalnya “Pithecontropus Erectus” yaitu monyet yang berdiri di atas kedua kakinya, ditengarai sebagai nenek-buyut paling purba dari makhluk manusia. Lalu ada makhluk “Homo neanderthalensis” yang merupakan saingan makhluk ” Homo Sapiens”. Dalam persaingan itu “Homo Sapiens”unggul. Tentu saja proses perkembangan ini memakan waktu jutaan tahun. Begitulah teorinya.
Menurut Hariri, dalam sejarahnya manusia mengalami tiga tantangan yang bisa membinasakannya yaitu kelaparan, penyakit dan peperangan. Ketiga persoalan fundamental ini, katanya sudah dapat diatasi. Dalam hal kelaparan misalnya, manusia mati justru karena terlalu banyak makan, kegemukan.
Kalau semuanya sudah diatasi, lalu apa target manusia selanjutnya? Menurut Hariri, “…the next targets are likely to be immortality, happiness and divinity.” Maka sekarang katanya, manusia berusaha mengatasi usia tua dan bahkan kematian itu sendiri. Bahkan ada kecenderungan manusia “mengupgrade” dirinya sebagai tuhan. Dari “Homo Sapiens” manusia beralih menjadi “Homo Deus”.
Sebagai Homo Sapiens, manusia dengan segala kemampuan Ipteknya telah berhasil menaklukkan tiga persoalan utama tadi. Sebagai Homo Deus, manusia akan makin bersandar pada ilmu dan teknologi dengan cara lebih eksplisit dan lebih rinci. Khususnya ilmu biologi dan ilmu komputer akan makin mendapat perhatian, termasuk cabang-cabang dan ranting-rantingnya seperti ilmu syaraf, ilmu-ilmu pengetahuan tentang kehidupan (life sciences), dan intelijensi buatan (artificial intelligence). Maka semakin berkembang ilmu-ilmu ini, maka makin disingkapkan tabir yang selama ini penuh rahasia, yaitu cara kerja otak manusia, proses berpikir dan mekanisme subyektivisme manusia yang meliputi perasaan, jiwa, dan kesadaran. Ini disebutnya, “sapiens black box”.
Manusia, kata Hariri telah menemukan, bukan jiwa, atau kehendak bebas, bahkan diri, melainkan hanyalah gen-gen, hormon, dan jaringan-jaringan syaraf yang tunduk kepada hukum-hukum/kaidah-kaidah fisika dan kimia yang selama ini juga mengatur realitas-realitas di sekitar kita.
Kira-kira begitu pandangan dalam buku Hariri ini. Apakah itu pendapatnya sendiri? Atau ia mengkonstatirnya saja? Tentu kita harus membaca buku ini dengan teliti. Tetapi yang jelas kita mendapat kesan, bahwa soal kehidupan tidak lebih dari persoalan teknis semata-mata. Kita mendapat kesan, bahwa yang disebutnya kemampuan algoritma dalam komputer dan ilmu-ilmu tentang kehidupan (life sciences) bakal berkembang begitu rupa sehingga bahkan melampaui kemampuan kognisi manusia dalam setiap bidang kehidupan.
Pertanyaan yang muncul tentu, kalau jaringan algoritma pada komputer berkembang begitu rupa pada satu pihak, dan pada pihak lain berkembang juga ilmu-ilmu tentang kehidupan dan jaringan syaraf, apakah yang terjadi ketika keduanya bertemu?
Hariri menjawab, keduanya akan bergabung untuk pada akhirnya tercapailah kesatuan sistem kognitip yang sama. Pada titik ini katanya, Homo Sapiens “will disintegrate from within”, dan bukannya musnah seperti halnya Homo neanderthalensis. Pada saat inilah, kata dia Homo Sapiens bermetamorfose menjadi HOMO DEUS, Manusia (yang menyerupai) Tuhan.
Demikian jalan pikiran singkat Sang Guru Besar ini. Mungkin pandangan ini mengejutkan bagi sebahagian. Mungkin juga bagi sebahagian dianggap sebagai perkembangan yang tidak terhindarkan sejalan dengan “makin dewasa”nya makhluk manusia. Hariri sendiri mengingatkan bahwa yang ditulisnya ini bukan prediksi, apalagi nubuat. Ini adalah probabilitas, katanya. Sebagai demikian, ia bisa terjadi, tetapi bisa juga tidak.
Saya sendiri melihat bahwa tulisan Hariri ini bukan hal baru sama sekali. Puluhan tahun lalu orang sudah berpikir tentang menyimpan memori seseorang dalam chips. Dengan demikian, kendati orang itu meninggal, ia bisa “hidup kembali” ketika chips memori itu ditanamkan kembali pada “manusia biotik”. Atau para ahli juga sudah berbicara banyak tentang sistem kloning.
Puluhan tahun lalu, Prof. Okke Jager, Pengajar Etika pada Theologische Universiteit Kampen, dalam bukunya berjudul, “Liever Langer Leven” juga berbicara tentang kemungkinan menaklukkan maut. Ia mengutip rasul Paulus: “musuh terakhir yang ditaklukkan adalah maut.” Dengan berbagai kemajuan teknologi sekarang, kata Jager, bukan tidak mungkin maut sungguh-sungguh ditaklukkan.
Saya sendiri tentu saja terbuka kepada berbagai perkembangan IPTEK bagi kesejahteraan manusia. Namun mesti ada juga pertanggungan jawab etis. Pertanyaan saya adalah, apakah “langer leven” sama dengan “eeuwige leven” (kehidupan abadi)? Jawaban terhadap “langer leven” (hidup lebih lama) memang bisa dicari pada IPTEK. “Eeuwige leven” membutuhkan jawaban teologis, sebab hal itu berarti hidup bersama Allah. Hidup bersama Allah melampaui berbagai kemajuan ilmu dan teknologi. Tentu ini ini presuposisi iman saya. Selamat memperingati Hari Pendidikan Nasional.