Oleh: Jeannie Latumahina
Perkembangan politik global semakin menajam membuat Indonesia harus cerdik dalam mencermati dan jika mungkin memanfaatkan situasi yang sedang berlangsung.
Nonblok sudah saatnya menjadi kekuatan alternatif baru disamping PBB. Seperti yang terjadi saat ini tentang agresi militer di Suriah.
Serangan terbatas ini jelas misinya penyelamatan proxy AS yaitu para jihadis. Belum ada tanda- tanda keberanian untuk melakukan perang terbuka.
Disamping krisis yang terjadi tersebut, retorika konflik Sunni vs Syiah tetap dihembuskan demi kepentingan menghimpun dukungan dan massa dalam rangka dominasi kawasan. Dimana perang moderen saat ini tujuannya mendapatkan kontrol sepenuhnya pada kawasan teluk Persia.
Perang akan terus diperluas menuju kawasan belahan timur jauh dengan potensi konflik Laut Cina Selatan (LCS) wilayah perairan yang memanjang dari Barat Daya ke arah Timur Laut, berbatasan di sebelah selatan dengan 3 derajat lintang selatan antara Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan (Selat Karimata) dan sebelah Utara dibatasai oleh Selat Taiwan dari ujung utara ke arah pantai Fukein, Cina.
Luas perairan LCS sendiri diperkirakan mencapai 4 juta kilometer persegi, dengan estimasi memiliki potensi besar baik di bidang biota laut, pariwisata, perikanan, minyak, gas alam dan bahkan navigasi membuat banyak negara berusaha secara kuat untuk mendapatkan legalitas atas perairan LCS.
Maka cepat atau lambat selanjutnya akan terjadi pemindahan konflik dari Teluk Persia ke Pasifik. Dengan tujuan menguasai sepenuhnya Jalur Sutera. Dalam hal ini China menjadi halangan utama kepentingan AS, demikian juga Rusia tetap sebagai musuh utama AS. Terlebih juga Rusia merupakan sekutu China. Yang nantinya perang dimaksud diharapkan bukan perang terbuka. Melainkan perang proxy. Lalu dimana episentrumnya? Indonesia pilihannya!
Karena Malaysia tentu tidak mungkin dijadikan proxy oleh sebab mentalnya payah. Sedangkan Singapura perlu keyakinan dukungan dari banyak negara untuk dapat menjadi proxy. Sebaliknya Indonesia paling siap untuk ditarik menjadi proxy AS melalui isu sektarian dengan biaya murah. Lagipula tentara- tentaranya sudah siap, tinggal dibangunkan saja.
Maka perlu membarakan suhu politik Indonesia terlebih dahulu, sehingga AS mendapat dukungan nantinya. Sekaligus menciptakan dan memperluas proxy. Dengan cara apa Indonesia dibakar? Tentunya melalui konflik sektarian. Karena itu perlu kampanye isu- isu sektarian dan SARA terus menerus!
Karena untuk berhasil menghadapi Indonesia, tidak mungkin diperangi dalam konsep perang konvesional ( negara vs negara ) karena militansi nasionalisme rakyat sangat kokoh. Tetapi kalau Indonesia dipecah-pecah baru bisa ! Sejarah sudah membuktikannya.
Terdapat dua strategi. Perang terbuka antar negara kawasan ASEAN. Atau konflik beraroma ras atau sektarian.Telah beberapa kali uji coba di Indonesia. Kerusuhan Ambon, Sampit, Ahmadiyah, Syiah dan 212. Telah sukses semua dilakukan?
*Indonesia harus cerdik dalam mencermati situasi yang sedang berlangsung di dunia*
Sejak awal, Indonesia sudah memainkan peran dalam perkembangan kasus ini dan pembentukan UNCLOS (The United Nations Convention on the Law of the Sea) peranan sangat penting dan signifikan dalam pembentukan hukum tersebut.
Indonesia dianggap sebagai pihak dengan peranan penting dalam penyelesaian masalah di Laut China Selatan, bahkan sejak awal mula konflik mulai bergejolak. Oleh sebab itu negara besar seperti Indonesia, harus bersatu dan berani untuk menyuarakan keadilan dan perdamaian di Laut China Selatan.
Untuk itu perlu terus berperan aktif menyerukan semua negara dalam kawasan tetap tunduk mematuhi hukum internasional dengan melalui Kode Etik Kawasan . Hal ini disampaikan pula oleh Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, dalam pertemuan para kepala negara ASEAN dengan Amerika Serikat .
Bagaimana juga bukan hanya geopolitik dan geoekonomi saja yang harus dikembangkan oleh Indonesia tetapi juga ketahanan nasional lebih kepada geomaritim. Karena maritim akan menjadi trend dari kekuatan di negara-negara besar dunia dalam memasuki abad 21.
Pemerintah Indonesia telah memiliki visi poros maritim dunia dengan lima pilar pembangunan maritim.
Lima pilar pembangunan maritim itu antara lain budaya maritim, SDA Kelautan, penguatan industri jasa maritim dan konektivitas, diplomasi maritim, dan pertahanan maritim. Hal ini merupakan modal dasar dalam menghadapi situasi kawasan yang semakin memanas.
Indonesia sebagai kekuatan besar di kawasan Asia Pasifik dipandang penting untuk menjaga kestabilan keamanan perairan LCS perlu terus meningkatkan peranan serta percayaan diri sebagai bangsa yang besar. Melalui kebijakan ekonomi, politik, ketahanan nasional terus menerus diperkuat.
Untuk kebijakan kedalam, kabinet Jokowi telah memberikan bukti, melalui slogan kerja! kerja ! dan kerja ! Dengan berbagai bukti telah dirasakan warga RI di wilayah timur. Sementara ini wilayah timur (Iramasuka) pesat dengan pembangunan infrastrukturnya. Juga wilayah- wilayah lain di Indonesia.
Maka yang dilakukan Jokowi menghadapi situasi global saat ini sudah tepat, termasuk kunjungan di Natuna wilayah terluar sebagai bukti kehadiran Indonesia, telah membuat China melangkah menjauh dari batas Natuna, Indonesia.
Demikian juga apa yang ditawarkan Jokowi ke luar negeri bukanlah retorika kosong dibandingkan pendahulunya. Namun juga tidak fair kalau memaksakan Jokowi harus mampu berperan seperti Bung Karno dengan karismatik, berpengaruh luas di dunia internasional. Ya, karena situasi memang berbeda dan berubah.
Hemat saya, Jokowi sudah benar fokus membangun negeri (berorientasi ke dalam) sekaligus membuka diri ke luar, misalnya untuk investasi. Bagaimana investasi mau masuk kalau banyak persoalan, seperti infrastruktur yang buruk, perizinan yang berbelit-belit tidak diurus dan dibenahi?
Banyak pandangan yang menyalahkan strategi Jokowi , menurut saya, secara sosiologis dan politik salah besa, karena bagaimana mampu bertarung diluar negeri, jika dalam negeri tidak kuat pada banyak aspek: infrastruktur, modal, pangan, regulasi, SDM, dll.
Bagaimana pula dapat fokus ke luar negeri sementara persatuan NKRI masih tanda tanya? Bagaimana mau bicara perdamaian internasional, sementara dalam negeri: protes dari berbagai kelompok terutama intoleransi tetap berjalan? Emang Jokowi jualan kue atau es batu ke luar negeri?
Jokowi perlu membangun citra yang baik tentang Indonesia di luar negeri agar investor tertarik berinvestasi di Indonesia. Dan itu terbukti. Investasi mulai banyak yang masuk ke Indonesia. Disamping perlu juga dipahami bahwa politik yang dilakukan Trump, merupakan potret penggunaan logika korban, dalam sebuah persaingan ekonomi dan perebutan pengaruh politik internasional.
Bukankah Amerika dan Barat selama ini telah menerapkan aturan yang tidak fair dalam perdagangan internasional? Amerika dengan negara” maju melalui IMF dan World Bank dalam Washington Consensus memaksa negara-negara berkembang untuk menerapkan liberalisme pasar dengan 3 prinsip dasar: liberalisasi, deregulasi, dan anti-subsidi. Pasar negara dibuka seluas-luasnya bagi pihak asing.
Tentang poin ini, ternyata pelaksanaannya hanya bagi negara berkembang, dimana segala jenis produk dari luar harus bisa masuk tanpa proteksi, namun bagi negara maju malah sebaliknya. Terhadap industri tertentu dilindungi dengan berbagai isu demi keunggulan komparatifnya di pasar. Fair-kah itu?
Demikian juga anti-subsidi dan privatisasi BUMN. Hal ini diterapkan oleh negara berkembang, bahkan dengan sangat bodoh. Kasus Indonesia pada Bulog dan Telkomsel era Megawati, menjadi contoh. Di negara maju, tidak semua industri dipotong atau dihilangkan subsidinya, dan juga privatisasi tidak pada semua BUMN.
Dalam kenyataan tetap memberikan subsidi yang besar, menjaga porsi kepemilikan saham pemerintah yang lebih besar atas perusahaan negara. Tetapi rahasia ini disimpan rapat sebagai rahasia negaranya.
Begitupun dengan hak kekayaan intelektual. Mereka dengan sewenang-wenang melalui badan-badan akademik dunia yang mereka kontrol menetapkan hak-hak paten terhadap produk yang bukan dari negara mereka menjadi milik mereka. Fair-kah itu?
Terkait kebijakan deregulasi. Pajak impor diturunkan serendah-rendahnya bagi negara berkembang, tetapi tidak demikian bagi negara maju.
Ketika China menuntut hal ini ke AS, China berhasil. Sehingga dapat disaksikan membanjirnya produk China ke Amerika. Pada saat yang sama, AS kesulitan melawan dengan produk mereka. Sulit baginya untuk melakukan proteksionisme, atas nama perdagangan yang fair.
Penerapan Washington Consensus pada dasarnya berangkat dari suatu kondisi dimana tidak ada keseimbangan kemajuan industrialisasi antar negara maju dan berkembang.
China pada waktu konsensus dikeluarkan, masih berusaha mengejar ketertinggalannya dalam bidang infrastruktur. Tetapi dengan optimis bisa bersaing dengan negara maju. Mereka bergerak dalam kerangka pasar bebas yang diterapkan negara-negara maju. Dan mereka berhasil.
Apa yang terjadi sekarang sebenarnya kepanikan Amerika sendiri terhadap apa yang mereka terapkan dalam konsensus bersama. Ternyata, setelah masuk dalam era persaingan bebas, mereka sendiri tidak berdaya berhadapan dengan China dan bangsa lain saat ini.
Proteksionisme bisa menjadi satu jalan sebagai bagian dari perang dagang. Bahayanya jika perang dagang kemudian menjadi perang perlombaan senjata. Dalam hal ini, Amerika berkepentingan untuk industrinya hidup dan memperkuat ekonomi. Itukan yang terjadi pada perang dunia 1 dan 2. Amerika sebagai pemasok senjata yang utama.
Merujuk demikian bisa terlihat bahwa ini terjadi karena perkembangan kapitalisme yang demikian pesat. Kapitalisme dalam dirinya menyimpan krisis yakni berpotensi menghasilkan perang, baik melalui perang ekonomi, perebutan pengaruh politik, dan paling ekstrim adalah unjuk kekuatan militer dengan senjata yang tercanggih, berakhir menjadi perebutan wilayah.
Apa yang hendak dikatakan adalah kapitalisme AS dengan negara maju selalu muncul bermuka dua. Di satu sisi, mereka membela demokrasi liberal dengan nilai-nilainya. Di sisi lain, mereka mendukung radikalisme agama, fundamentalisme ideologi untuk melemahkan pesaingnya, demi memenangkan perang dagang (kepentingan ekonomi politiknya). Mereka merupakan penyuplai senjata perang, menjadi sekutu dari pihak- pihak yang berperang sekaligus pada dua belah sisi.
Bayangkan, pada saat mereka mempromosikan nilai-nilai demokrasi liberal seperti kebebasan individu dan HAM melalui rule of law. Tetapi, saat yang sama mereka mendukung kelompok radikalisme, fundamentalisme ideologi tertentu yang hakekatnya melawan nilai-nilai liberalisme.
Jadi itulah kapitalisme yang selalu rentan dengan krisis dan selalu menerapkan politik standar ganda atau bermuka dua. Dalam menghadapi ini langkah-langkah yang diambil Indonesia sudah tepat, dibawah kepemimpinan Jokowi.
Kepemimpinan Jokowi mengambil tindakan yang tepat membenahi didalam dan secara cerdik mengambil peluang di luar untuk bersaing sebagai bangsa yang besar. Cara pemerintah mendistribusikan tanah kepada masyarakat yang belum punya tanah, serta mendorong masyarakat untuk menjadi petani yang berorientasi bisnis dan wisata adalah pilihan yang penting.
Mengapa penting? Bangsa yang kuat kalau pangannya melimpah, stabil, dan murah. Kepemilikan lahan oleh perusahaan besar perkebunan sawit dan tambang harus dikurangi. Masyarakat harus mampu mengolah produknya mulai bahan baku sampai produk jadi.
Dengan kata lain meningkatkan keunggulan komparatif produk. Mendorong masyarakat untuk terbiasa mengkonsumsi produk sendiri. Sebagai bagian dari strategi memenangkan pasar dalam negeri melalui sikap kebanggaan nasional. Dan ini harus gencar dilakukan.
Yang tidak kalah penting kita harus mandiri dalam energi. Kita harus keluar dari lingkaran mafia migas, yang terus menerus mencuci otak dan membodohi masyarakat Indonesia dengan hantu nuklir.
Sejak negeri ini dikontrol oleh Suharto, segalanya direcoki oleh berbagai bentuk pragmatisme barat, melalui ide developmentalismenya. Kebanyakan kaum intelektual kita diajar menjadi teknokrat dan birokrat. Sangat sedikit menjadi pemikir yang punya kedalaman refleksinya. Demikian juga kelompok intoleransi digunakan, sambil membodohi masyarakat untuk tidak melek terhadap konsep bernegara.
Saat ini, fokus AS sedang tertuju ke Timteng namun sisi lain CIA menggarap Indonesia seiring isu konflik kekuatan kawasan Laut China Selatan (LCS). Mengapa menggarap Indonesia? CIA berkepetingan langsung dengan kawasan LCS, melebihi keberadaan pertambangan Freeport. Kawasan LCS lebih strategis sekarang ini dibandingkan perpanjangan kontrak Freeport. Sejalan meningkatnya langkah-langkah penguatan China terhadap ASEAN. Karena siapapun yang mampu menguasai kawasan LCS akan menjadi penentu posisi strategis dunia.
Selain bisa mendapatkan pajak setiap lalu lintas kapal dan pesawat yang melintas. Juga akan menguasai jalur perdagangan banyak negara. Sebab kawasan LCS merupakan Jalur Sutera wilayah selatan bahkan masa sebelummnya sejak Jalur Rempah.
Kalau AS sudah mulai mengusung isu wilayah kawasan LCS, maka perlu kita waspadai. Karena dapat menjadi episentrum konflik di Indonesia. Strategis secara geopolitik geoekonomi!
Karena pergerakan kekuatan perdagangan China makin memperkuat pada kawasan padat lalulintasnya Laut China Selatan, demikian juga disisi wilayah Natuna yang membelah Malaysia Timur dengan Barat dimenangkan indonesia. Oleh sebab hal inilah tidak menjadi heran kemudian dimunculkan isu kuat atau gerakan anti China, anti Aseng.
Disatu sisi lain AS akan mendanai kekuatan perangnya di LCS dengan memobilisasi kekuatan proxynya. Salah satunya perang kepentingan di Marawi. Episentrum perang pada kawasan LCS pasti akan diarahkan masuk pada wilayah Indonesia. Secara geoposisi dan sumber daya alam Indonesia punya nilai tawar yang tinggi.
Terlebih Indonesia merupakan negara yang sulit dibaca. Ahli militer manapun masih tidak mampu memprediksi dengan benar kekuatan militer Indonesia. Karena doktrin ketahanan pangan rakyat bisa diurus oleh TNI, sebaliknya TNI juga dihidupi rakyat.
Sejarah membuktikan, Inggris selaku pemenang PD II dibuat bertekuk lutut kalah di Surabaya. Perang Diponegoro mampu membuat kolaps Belanda. Raden Wijaya bisa membuat malu Empire Tibet Kubilai Khan.
Jadi siapa jagoan preman dunia sesungguhnya? Indonesia!
Yang terbukti selalu cerdik dalam menghadapi kekuatan perubahan jaman.
Kebangkitan Indonesia dalam membangun arsitektur teritorial kawasan, menjaga ekosistem perdamaian, stabilitas dan kesejahteraan bukan saja terbangun di ASEAN, tetapi juga akan berdampak pada lingkar Samudra Hindia dan Samudra Pasifik, yaitu Lingkar Indo-Pasifik.
Dari sini jelas, Indonesia telah menempatkan dirinya berada di dalam tren multilateralisme dan regionalism ekonomi. Bahkan Indonesia menggeliat memulai memainkan peranan dalam tren tersebut.
Dengan catatan Indonesia berdaulat penuh atas ekonomi dan politiknya serta ketahanan Nasionalnya!
Kediri 19 April 2018