Pdt. Weinata Sairin: Mengikut Kristus Tanpa Putus

0
1514

“Tetapi kamu ini, hati-hatilah! Kamu akan diserahkan kepada majelis agama dan kamu akan dipukul di rumah ibadat dan kamu akan di hadapkan ke muka penguasa-penguasa dan raja-raja karena Aku sebagai kesaksian bagi mereka”. (Markus 13 :9)

 

Sejak awal sejarah, kehadiran kekristenan ditengah dunia menimbulkan resistensi yang amat kuat. Kekristenan yang dianggap “agama baru” memang menawarkan konsep berfikir baru, pandangan teologi yang baru utamanya tentang berbagai hal mendasar. Konsep teologi tentang manusia, tentang dosa, tentang keselamatan, tentang hari akhir, misalnya, menampilkan pikiran-pikiran  yang sangat berbeda dengan apa yang selama ini diyakini banyak orang. Bahkan kita semua tahu penolakan terhadap kabar kesukaan yang diperkenalkan oleh Yesus benar-benar terjadi, yang kemudian mencapai titik kulminasi tatkala Yesus disalib di bukit Golgota. Aniaya, hujatan, pembunuhan terhadap Yesus diasumsikan akan mengakhiri kekristenan. Namun kebangkitan Yesus dari kematian, seperti yang Ia kotbahkan kepada banyak orang, bahkan kenaikanNya ke surga telah membuka perspektif baru dalam sejarah umat manusia dan bagi kehidupan agama-agama. Sejarah kekristenan sesudah Yesus naik ke surga memasuki era yang baru, walaupun hambatan dan aniaya terhadap kekristenan tidak berkurang.

 

Kekristenan tidak pernah binasa, kekristenan tidak pernah dan tidak akan mati. Persekusi terhadap umat Kristen terjadi dan dicatat dalam sejarah. Pada zaman Kaisar Nero tahun 64 M orang Kristen dituduh membakar kota Roma, pada hal ia sendiri yang membakarnya. Di zaman Dalmatian 95 M; Severus tahun 191 M, Maximinus 235 M umat Kristen mengalami penganiayaan yang amat hebat dalam berbagai bentuk, termasuk dibakar, disembelih, dibunuh dengan cara-cara yang sadis.

 

Ditengah hambatan, aniaya, hujatan dan pembunuhan terhadap umat Kristen, namun umat Kristen tak pernah menyerah kalahpasrah. Kekristenan tetap ‘menjalar’ dan merambah kemana-mana. “Darah para martir adalah benih Gereja” itulah jargon yang hidup pada zaman itu. Darah para pengikut Kristus yang muncrat dari tubuh mereka oleh pedang para penguasa haus darah menjadi benih dan fundamen kukuh bagi lahirnya jemaat-jemaat Kristen di berbagai belahan dunia.

 

Persekusi, aniaya dan hambatan terhadap umat Kristen juga terjadi dalam sebuah negara yang berdasarkan Pancasila. Kasus yang dialami warga GKP di Jawa Barat atau warga Gereja Toraja di Sulawesi Selatan di zaman Kartosuwiryo, Kahar Muzzakar, untuk menyebut beberapa contoh, membuktikan dengan amat jelas bahwa penganiayaan terhadap umat Kristen Indonesia pernah terjadi di negeri ini dan bahkan seolah hendak diulangi di era digital sekarang, seperti yang dialami Romo Edmund Prier tanggal 4 Maret di Yogyakarta.

 

Cerita-cerita tentang para martir bisa disimak dengan baik dalam buku “The Martyrs Of The Catacombs” yang sudah diterbitkan edisi Indonesianya oleh Penerbit Dioma Malang. Pada zaman penghambatan itu banyak sekali orang Kristen dibunuh karena mereka “menolak” menyangkal Kristus. Jenazah mereka dikuburkan di *katakombe* yang adalah lorong yang berada dibawah tanah.

 

Paus Paulus II tahun 1996 menyatakan pentingnya katakombe sebagai tempat doa dan ziarah. Dengan mengunjungi katakombe menurut Paus orang akan dihubungkan kembali dengan jejak-jejak kekristenan perdana yang menyuarakan panggilan iman dan sebab itu akan dapat merasakan dengan lebih dekat iman yang telah menggerakkan jemaat Kristen purba itu.

 

Ada kisah tentang seorang anak bernama Pollio 13 tahun yang di penjara di Roma karena ia memeluk agama Kristen. Ketika ia diadili karena kekristenannya itu ia dengan gagah berani dan iman yang tangguh menyatakan bahwa ia tidak takut pada kematian. Ia tidak akan menyangkali Juru Selamatnya walau ia harus menjalani kematian. Iman kukuh seperti ini dari seorang remaja sangat mengagumkan dan menguatkan banyak orang juga di zaman ini. Buku The Martyrs of The Catacombs sebagai buku yang berisi kesaksian para pejuang iman dari abad-abad lampau amat bermakna bagi warga Gereja dimanapun. Umat Kristen Indonesia perlu menggali dari khazanah sejarah mereka tentang para martir dan suhada yang rela kehilangan nyawa demi Kristus Yesus.

 

Markus 13 : 9 yang dikutip dibagian awal tulisan ini merupakan penggambaran aniaya yang akan dihadapi para pengikut Yesus dimasa-masa mendatang. Ayat ini adalah bagian dari tema besar tentang akhir zaman, sebuah tema yang menjadi obsesi umat Kristen abad pertama karena mereka alami persekusi hebat dan berkesinambungan sebab itu mereka ingin segera berpindah dari “civitas terrena” ke *civitas dei*!

 

Para ahli Perjanjian Baru menyatakan bahwa gaya penulisan Markus lebih hidup ketimbang Injil yang lain, bahkan mereka tiba pada kesimpulan bahwa Injil ini yang lebih dulu ditulis dengan materi yang lebih otentik. Para ahli menyatakan Injil ini ditulis di Roma mengingat banyak dijumpai istilah-istilah dari bahasa Latin. Kemungkinan besar Injil ini ditulis antara tahun 60 -70; dikaitkan dengan narasi dalam Injil yang menyatakan umat Kristen mengalami sengsara karena iman mereka. Hal tersebut dikaitkan dengan persekusi ysng terjadi di zaman Nero.

 

Yesus menegaskan dalam bagian ini bahwa tidak mudah mengikut Dia. Ada beberapa kata kunci dalam ayat ini, seputar *tindakan* terhadap pengikut Yesus yaitu : *diserahkan kepada majelis agama*, *dipukul dirumah ibadat*,  *dihadapkan ke muka penguasa-penguasa dan raja-raja*. Hal itu semua “karena Aku sebagai kesaksian bagi mereka”.

 

Sebagai pengikut Yesus Kristus yang telah menderita sengsara, mati, bangkit dan naik ke surga bagi keselamatan kita maka kita *tidak perlu takut* menderita apapun bagi namaNya. Jangan pernah menyangkal nama Kristus demi jabatan, warisan, kedudukan, atau demi apapun juga. Kita harus percaya dan beriman kepadaNya sampai kita mati!!

 

Selamat Merayakan Hari Minggu. God bless.

 

*Weinata Sairin.*

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here