“Vitae summa brevis spem nos vetat incohare longam. Bahwa hidup ini pendek tidaklah melarang kita untuk merencanakan sebuah kehidupan yang panjang”.
Hidup itu memang pendek. Usia manusia terbatas, memiliki limit tertentu. Panjang pendeknya usia, selain tergantung pada rencana Tuhan atas setiap umat manusia, tetapi juga pada apa yang biasa disebut dengan Usia Harapan Hidup yang berbeda perhitungannya di setiap negara. UHH adalah rata-rata perkiraan atau ekspektasi dari usia bayi yang baru lahir mencapai kematian. UHH negara berkembang berkisar antara 40-60, sedangkan negara maju mencapai 90.
Jepang berada pada angka 82,25 ; Perancis 81,19; Singapura 84,14 sedangkan Indonesia pada tahun 2015 pada posisi 70,8. Paling tidak ada empat faktor penting yang mempengaruhi UHH yaitu sosial, ekonomi, kesehatan dan pendidikan. Makin baik dan maju empat faktor itu maka berdampak makin bertambahnya usia harapan hidup disuatu negara/wilayah.
Hidup yang pendek tidak berarti kita kehilangan optimisme, ketiadaan cita-cita, kurang antusias sehingga kita hidup sekadar hidup, tidak berupaya agar hidup ini bermakna. Hidup yang pendek adalah juga hidup yang semestinya hidup yang penuh dengan syukur kepada Tuhan; hidup yang menebar kebajikan, hidup yang mendedikasikan diri bagi pemajuan HAM, hidup yang concern pada orang lain,hidup yang gembira bukan yang murung, sedih dan mekankolik.
Di zaman ini ditengah berbagai dinamika politik yang kadang mengusik ketenangan hidup, agak sulit untuk menghadirkan hidup yang gembira. Kita tahu bahwa hidup yang gembira itu menyehatkan namun acapkali kita terpenjara pada berbagai persoalan hidup yang membelit sehingga sulit sekali kita mewujudkan hidup sukacita, hidup yang gembira.
Kita acap tersandera oleh masalah yang kita hadapi di kantor, atau masalah keluarga sehingga kita tak sanggup lagi untuk tertawa. Ironis sekali, bahkan saat kita sedang menikmati acara tv Stand Up Comedy, dengan joke ringan dan high joke kita tak mampu tertawa karena ketika Raditya Dika atau Ernest melontarkan humor-humornya yang segar, pikiran kita tidak terfokus pada acara itu namun menerawang ke masalah-masalah kantor yang membelit kita. Bagaimana kita bisa tetap “gembira” ditengah realitas problema yang melilit diri kita. Kisah dari zaman baheula berikut bisa memberi inspirasi. Ketika bertemu dengan seorang Negro tua yang selalu bergembira meskipun hidupnya memiliki banyak masalah, Albert Edward Wiggam seorang pengarang berkata : “Paman Joe bagaimanakah kau mengatur dirimu untuk bergembira dan tenang?” Paman Joe menjawab : “Aku hanya belajar untuk “bekerjasama” dengan persoalan-persoalan yang tak bisa kuhindari”
Istilah “belajar bekerjasama” digunakan dalam arti bagaimana seluruh persoalan itu difahami dengan baik, didekati lebih akrab sehingga persoalan itu tidak dilihat lagi sebagai “musuh yang mengganggu” tetapi sebagai sesuatu bagian dari perjalanan sejarah kehidupan yang suatu saat akan bisa diselesaikan dengan baik.
Tentang panjang pendek usia sebagai.umat yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa kita sangat yakin dan pasti tahu itu semua menjadi “hak prerogatif” Tuhan. Itu bukan domain, ranah, wilayah kita sebagai manusia fana. Bagi kita yang penting adalah bahwa kita harus bersyukur atas Hidup yang Tuhan anugerahkan kepada kita. Hal paling fundamental yang mesti menjadi fokus pemikiran kita adalah bagamana kita mengisi usia yang Tuhan anugerahkan itu dengan hal-hal terbaik sesuai dengan perintah agama, kompetensi dan talenta yang kita miliki. Kita manusia adalah *makhluk yang ditanggungi jawab*, bukan manusia yang abai, masa bodoh, apatis, tidak mau concern atau “tak mau ikutan”.
Kita manusia sejak awal sejarah mendapat mandat dari Tuhan untuk mengelola bumi dan seluruh ciptaanNya. Itu berarti kita tak bisa apatis dan atau berdiam diri terhadap berbagai dinamika yang terjadi dikekinian dan dikeakanan dunia. Kita harus mengambil peran untuk menjaga kelestarian alam, kita harus mengendalikan sejarah bahkan mencipta sejarah baru bagi kebaikan seluruh umat manusia apapun agama, ras dan latarbelakang mereka.
Pepatah yang dikutip diawal tulisan ini menyatakan bahwa hidup yang pendek tidak berarti kita tak bisa merencanakan kehidupan yang panjang. Hidup yang terbatas tetap terbuka menyusun rencana kehidupan yang ‘tak terbatas’. Bangsa kita punya rencana jangka panjang 25 tahunan, organisasi ada yang punya renstra 100 tahun. Itu semua bisa dan sah-sah saja sejauh memang diperintah UU, dibutuhkan untuk kemaslahatan masyarakat, umat dan bangsa. Proses penyusunan rencana yang seperti itu tidak mudah, para ahli masa depan, tokoh budaya, ahli sospol, sosiolog amat dibutuhkan dalam konteks itu.
Sebagai umat ciptaan Tuhan Yang Maha Esa kita berkomitmen untuk _mengisi_ hari-hari pendek yang Allah anugerahkan kepada kita dengan mengasihi Allah dan mengasihi sesama, menorehkan perbuatan baik dan kebajikan ditengah realitas kehidupan.
Mari kita isi Hidup yang pendek dengan karya pelayanan berdampak panjang, yang mengasihi umat manusia dan memuliakan Allah.
Selamat berjuang. God bless.
*Weinata Sairin*