Dies Natalis 68 Tahun GMKI: GMKI Terus Eksis Mempersiapkan Kader-kader Terbaiknya dan Konsisten Mengabdi pada Bangsa dan Gereja

0
1552

Medan, Suarakristen.com – “Pada umumnya, usia menjadi salah satu penilaian dalam mengukur tingkat kedewasaan dan pengalaman hidup seseorang. Usia juga menjadi pertimbangan dalam menilai sejauh mana seseorang melakukan pengabdian. Memasuki usianya yang ke-68 tahun, banyak orang mungkin akan bertanya, untuk apa dan untuk siapa GMKI ada dan harus ada? Maka judul pidato ini menjadi jawabannya. Kami memberikan judul pidato Dies Natalis GMKI: *68 Tahun GMKI Mengabdi Bagi Bangsa dan Gereja*

Telah 68 tahun GMKI mengabdi bagi Bangsa dan Gereja. Dari awal berdirinya, bahkan sejak cikal bakal GMKI tahun 1932, 85 tahun lalu, GMKI selalu tegas dan konsisten memperjuangkan kemerdekaan, keadilan, dan kebenaran, juga menjaga keutuhan bangsa dan Gereja. Doktrin nasionalisme dan ekumenisme selalu menjadi pengikat erat setiap kader GMKI, baik para senior yang telah mengabdi di berbagai bidang, maupun para anggota aktif yang masih bergelut di dunia mahasiswa.

GMKI selama puluhan tahun menjadi sekolah latihan bagi mahasiswa Kristen untuk belajar mencintai Tuhan serta belajar mengabdi bagi bangsa dan gereja. GMKI menjalani panggilan ini dengan setia karena generasi muda yang ahli dan bertanggungjawab dibutuhkan untuk membangun bangsa dan gereja. Maka dalam Dies Natalis ini, kembali kami tegaskan bahwa GMKI akan selalu konsisten membina dan mempersiapkan pemimpin-pemimpin muda yang siap diutus untuk mengabdi bagi Gereja, bangsa, dan negara.

Di umurnya yang ke-68, GMKI tidak lagi menjadi organisasi yang masih mencari jati diri. Sebaliknya, GMKI sudah menemukan jati diri dan tujuan kehadirannya, yakni mengabdi bagi bangsa dan gereja. Tujuan kehadiran ini tercermin dan terwujud melalui jati diri semua anggota GMKI. Anggota GMKI harus mengakar dengan kuat di gereja dan masyarakat. Oleh karena itu, setiap anggota GMKI harus selalu menjadi pelopor perdamaian dan persekutuan di tengah gereja, bangsa, dan negara. Namun di sisi lain, setiap anggota GMKI harus juga menjadi yang terdepan dalam menyampaikan suara kenabian, menyatakan kebenaran, melawan ketidakadilan, kejahatan, penindasan, dan hal-hal lainnya yang ingin mengganggu keharmonisan gereja dan masyarakat.

Jati diri ini yang menjadi sikap kenabian dan sikap politik GMKI. Seperti yang dinyatakan Yesaya, “belajarlah berbuat baik; usahakanlah keadilan, kendalikanlah orang kejam; belalah hak anak-anak yatim, perjuangkanlah perkara janda-janda!” GMKI ada untuk membela masyarakat yang tertindas dan termarjinalkan. Sikap ini tegas dan tegak lurus, dijiwai dan dilakukan mulai dari anggota, senior, Pengurus Komisariat, Badan Pengurus Cabang, dan Pengurus Pusat. Kami tegaskan sekali lagi, membela masyarakat yang tertindas dan termarjinalkan, inilah yang menjadi sikap kenabian dan sikap politik GMKI.

Baca juga  Direktur Utama Jasa Raharja Hadiri Rakor Penyelenggaraan Angkutan Lebaran 2024 Lintas Penyeberangan Merak-Bakauheni

Saat ini kita akan memasuki masa Pilkada 2018 dan Pemilu 2019. Dalam hidup ada sejumlah pilihan yang ditawarkan kepada manusia sebagai proses ekstranalisasi yang terkandung nilai-nilai dalam setiap pilihan itu termasuk pilihan politik. Pilihan politik adalah pilihan yang diambil berdasarkan sebuah kesadaran berdasar pertimbangan etis.

Dalam sejumlah kajian etika politik, partisipasi politik menjadi topik menarik dan penting untuk dibahas oleh pemuda Indonesia. Mengapa demikian? Hal ini disebabkan karena asumsi politik sebagai wilayah kotor dan tabu masih lestari dalam pikir pemuda. Ini didukung dengan kondisi politik gaduh yang mewarnai kehidupan bangsa Indonesia. Namun kondisi ini tidak bisa dibiarkan lama dan jadi kebiasaan dalam kancah politik Indonesia karena akan menghadirkan generasi pembuat gaduh.

Pemudi dan pemuda  yang disebut “Agent of change” semestinya mengambil peran atau berpartisipasi dalam mengelola politik di Indonesia. Bentuk partisipasi politik pemuda tidak sekadar menguasai panggung politik dengan merebut kekuasaan tetapi juga dalam berbagai wajah yang lain. Partisipasi politik yang paling sederhana namun menentukan adalah menggunakan hak pilih dalam pemilu. Benar bahwa golput adalah sebuah pilihan, karena golput adalah memilih untuk tidak memilih. Namun perlu diperhatikan apa yang dikatakan oleh Berthold Brecht yang penting kita renungkan; “Buta yang terburuk adalah buta politik, dia tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, semua tergantung pada keputusan politik. Orang yang buta politik begitu bodoh sehingga ia bangga dan membusungkan dadanya mengatakan bahwa ia membenci politik. Si dungu tidak tahu bahwa dari kebodohan politiknya lahir pelacur, anak terlantar, dan pencuri terburuk dari semua pencuri, politisi buruk, rusaknya perusahaan nasional dan multinasional yang menguras kekayaan negeri.”  Itu artinya memilih menjadi golput berarti memilih untuk tidak mau tahu dengan masa depan diri sendiri dan masa depan orang banyak.

Baca juga  Minggu Kasih di Rumah Panti Jompo, Kapolres Metro Jakut Serahkan Kursi Roda

Wajah lain dalam partisipasi politik pemuda adalah dengan menjadi pemantau, penyelenggara, ataupun peserta pemilu dan pilkada. Pemuda seharusnya masih memiliki idealisme dalam menyatakan kebenaran. Sehingga ketika masuk ke dalam sistem politik, apakah itu sebagai pemantau, penyelenggara, ataupun peserta pemilu dan pilkada, idealisme ini dapat dibawa dan menjadi oasis yang menyejukkan dan melegakan kekeringan. “Jangan seorangpun menganggap engkau rendah karena engkau muda. Jadilah teladan bagi orang-orang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu.

Partisipasi politik pemuda Indonesia saat ini sangat diharapkan dan dibutuhkan. Namun partisipasi politik pemudi dan pemuda Indonesia mesti memiliki karakter atau ciri khas Pancasila yang mengedepankan dan mengutamakan prinsip kejujuran, kebersamaan, dan integritas dalam prakteknya. Hanya dengan mengedepankan prinsip kejujuran, kebersamaan, dan integritas sesuai semangat Pancasila, maka politik Indonesia lebih baik dan lebih bermartabat. Hal ini juga akan menjadikan pemuda tidak terjebak dalam ruang pragmatis, oportunitif maupun politik sektarian dan identitas, serta politik uang yang menggiring pada nikmat sesaat. Pemuda mesti menjadi suluh yang berapi dengan berani, yakni menjadi aktor yang cerdas, kritis, solutif, dan toleran dalam segala panggung kehidupan termasuk politik. Inilah yang dimaksudkan Johanes Leimena dalam menerjemahkan politik bukanlah soal kekuasaan tetapi etika dan alat melayani. Atau yang kami artikan saat ini, bahwa politik harus menjadi media pemersatu perbedaan, dan pewujud keadilan dan kesejahteraan. Inilah politik yang sejati, politik oleh dan bagi seluruh rakyat Indonesia.

GMKI adalah organisasi mahasiswa berbasis Kristen sejak awal terbentuknya, berjuang untuk menjaga keutuhan Bangsa Indonesia. GMKI adalah organisasi yang bersifat gerejawi dan tidak merupakan bagian dari organisasi politik. Karena itu, GMKI tidak dan tidak boleh terlibat ataupun terikat dengan kepentingan kelompok/ golongan tertentu. Maka dengan tegas kami sampaikan, setiap Pengurus GMKI mulai dari komisariat, cabang, maupun pusat tidak dan tidak boleh terlibat dalam kepentingan politik praktis sesaat. Namun GMKI harus tetap menunjukkan sikap kenabian dan sikap politiknya. Sikap kenabian dan sikap politik ini yang kami sebut sebagai “high politics”, yakni memastikan bahwa politik haruslah menjawab kebutuhan masyarakat, membela hak yang termarjinalkan, mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Baca juga  LBH YLBHI: Hentikan Operasi Militer Ilegal dan Praktek Penyiksaan Warga Papua, Tangkap dan Adili Pelaku!

Politik harus juga kita kembalikan menjadi politik yang hakiki, politik yang suci, tanpa kecurigaan, tanpa ketakutan, tanpa paksaan. Politik yang mengasyikkan, politik untuk kegembiraan bersama. Politik yang bukan untuk kepentingan kelompok, namun politik untuk rakyat, untuk rakyat, untuk bangsa Indonesia. Sebagai generasi millenial, kita harus dapat menghadirkan nuansa baru politik Indonesia.

Dies Natalis kali ini adalah kesempatan kita berefleksi diri sebagai kader sekaligus organisasi untuk tetap menjaga api semangat nasionalis-oikumenis yang adalah roh organisasi kita. Menjaga api semangat nasionalis-oikumenis hanya akan terekspresikan lewat program-program yang kita buat di tingkat pusat sampai pada cabang-cabang dan komisariat-komisariat yang tentunya berdampak baik bagi kehidupan bersama di negara Indonesia yang kita pijak dan cintai. Maka menutup pidato Dies Natalis ke-68 GMKI ini, kami kembali mengingatkan bahwa setiap anggota dan pengurus GMKI harus setia dan konsisten melakukan Pendalaman Alkitab, diskusi keilmuan dan persoalan masyarakat, implementasi Pola Dasar Sistem Pendidikan Kader dan peningkatan kapasitas organisasi, serta aksi partisipatif dan sosial di tengah gereja, kampus, dan masyarakat. Semuanya itu dilakukan sebagai pembinaan dan persiapan bagi anggota GMKI sehingga tahun ini dan tahun-tahun berikutnya, anggota GMKI akan selalu ada dan ada untuk mengabdi bagi bangsa dan gereja.Marilah menjadi kader yang setia mengakar dan bertumbuh di tengah bangsa dan gereja.” demikian pokok-pokok pikiran pidato PP GMKI pada acara Perayaan Dies Natalis ke-68 GMKI yang dilaksanakan di Catholic Center, Medan. (9/2/18)

Hadir dalam perayaan Dies Natalis GMKI tersebut antara lain Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly, Menteri Pemuda dan Olahraga, H. Imam Nahrawi, dan Sekretaris Komisi Kejaksaan, Barita Simanjuntak

Tinggilah iman kita, tinggilah ilmu kita dan tinggilah pengabdian kita,

Ut Omnes Unum Sint, Syalom!!

Medan, 9 Februari 2018, Teriring salam dan doa,

*Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia*

Sahat Martin Philip Sinurat, Ketua Umum

Alan Christian Singkali, Sekretaris Umum

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here