QUO VADIS SEKOLAH/MADRASAH SWASTA!

0
1532

 

Oleh: Jerry Rudolf Sirait.

Sekretaris Jenderal BMPS Pusat.

 

 

Salam Cempaka Putih!

 

1. Kami berterimakasih kepada Pengurus BMPS Provinsi Bali atas kesediaannya sebagai tuan/nyonya diskusi nasional ini. Terimakasih kepada Panitia yang sudah/akan bersusah payah mengurus kami selama 2(dua) hari ini. Sekali lagi terimakasih.

 

2. Senior kita, Drs. H. Achlan Husen, yang sedianya mewakili Pengurus BMPS Pusat bertindak sebagai Pengantar Diskusi saat ini, ternyata berhalangan. Beliau harus di  Malaysia pada 24-29 Jan 2018.

Atas kesepakatan dengan Pak Suparwanto, Ketua Umum BMPS Pusat, saya memberanikan diri menggantikan beliau,  dalam kapasitas sekretaris jenderal, walau saya sadar betul bahwa wawasan beliau jauh lebih luas dari saya. Untuk itu saya mohon dimaklumi.

 

3. Semula diskusi nasional ini fokus pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Namun dalam perjalanan waktu yang bersamaan muncul persoalan baru yakni ancaman penarikan guru PNS yang  “diperbantukan” di Sekolah/Madrasah Swasta  Maka jadilah kedua-duanya topik itu menjadi fokus diskusi kita selama 2(dua) hari ini. Kita memandangnya sama-sama berat, ribet dan membuat kita pusing  tujuh keliling.

 

Sesungguhnya bukan hanya kedua masalah itu yang “mengancam”  Sekolah/Madrasah Swasta bubar, tetapi biarlah kedua persoalan besar  itu kita kupas tuntas dalam forum ini – yang kita sebut “diskusi nasional” (forum dengan sebutan seperti ini sudah pernah kita laksanakan di Jakarta dan Bandung pada periode Pengurus BMPS Pusat yang lalu).

 

4. Bagi sebagian besar dari kita (baca: Sekolah/Madrasah Swasta),  masa penerimaan peserta didik baru menjadi “momok yang menakutkan” akhir-akhir ini.  Saya sebut di WA  group CEMPAKA PUTIH, keadaan itu  “malapetaka” atau “musibah” besar.  Mengapa? Karena peserta  didik diborong habis oleh Sekolah/Madrasah Negeri maka Sekolah/Madrasah Swasta “kehilangan” peserta didik. Akibatnya pelahan-lahan semakin banyak Sekolah/Madrasah Swasta yang “gulung tikar”,  bubar, koit sudah! Keadaan itu terasa di mana-mana tempat, di kota, di desa dan di pinggiran pedesaan.

 

Memang ada Sekolah/Madrasah Swasta yang “bertahan”. Ada orang yang mengatakan bahwa ia bertahan karena memang berkualitas sehingga diminati peserta didik.  Namun pernyataan itu masih perlu diuji. Sebab di beberapa daerah, Sekolah/Madrasah Swasta yang berkualitas itu pun mengalami penurunan peserta didik. Lain halnya Sekolah Swasta yang boleh dikata masuk pada kategori “industrialisasi pendidikan”. Aneh juga itu, sudah mahal luar biasa tetapi tokh diminati banyak orang. Kenapa ya?

Baca juga  Gereja & Masyarakat Marjinal

 

Tanpa mengurangi hormat pada Pemerintah,  kami menduga keadaan sekarang semakin runyam akibat “rakus”nya Sekolah/Madrasah Negeri, tentu … atas seijin Pemerintah (dhi Pemda setempat). Apalagi dengan adanya istilah sekolah gratis yang tidak benar-benar gratis. Sebutan itu pun sudah dikoreksi BMPS sebab tidak satu pun regulasi mengatakan demikian. Undang-Undang mengatakan “tanggung jawab Negara”.

 

Terbitnya Permendikbud no 17/2017 diharapkan mengatasi masalah tersebut.  Ternyata tidak! Bahkan regulasi tersebut ditafsirkan menurut “kemauan” sendiri oleh beberapa Pemda, seperti yang terjadi di Bali.

 

Memang Permendikbud itu pun “belum sesuai dengan aspirasi  BMPS” sebagaimana isi surat kita kepada Bapak Presiden RI dan ditembuskan kepada menteri/pihak terkait.  Di sisi lain Pemerintah tidak melibatkan “pihak swasta/BMPS” membicarakannya sebelum diundangkan. Jadilah seperti itu.

 

Sekarang kita mesti berani menyuarakan/menyeruhkan  kepada Pemerintah agar Permenikbud tersebut ditinjau-ulang karena ternyata tidak mengatasi masalah, bahkan melahirkan masalah baru.

 

Forum ini perlu merumuskan masukan perbaikan terhadap Permendikbud itu dengan mempertimbangkan (melirik) regulasi sebelumnya yang mengatur berbagai hal tentang pengelolaan Sekolah/Madrasah (misalnya tentang rombel, pendirian sekolah baru, pembangunan kelas baru) dan disesuaikan dengan perkembangan manajemen sekolah akhir-akhir ini.

 

Kita pun perlu “menuntut’ Pemerintah agar mematuhi sepenuhnya amanat UU Sisdiknas Pasal 55 yang tadinya hanya “dapat” diubah oleh MK menjadi “wajib” membantu Sekolah/Madrasah Swasta merealisasikan tugas dan tanggungjawab konstitusionalnya “mencerdaskan kehidupan bangsa”.  Artinya, secara sengaja dan tersistem,  Pemerintah mesti memberi ruang seluas-luasnya bagi Sekolah/Madrasah Swasta untuk dimasuki peserta didik baru. Mesti ada sistem yang mengatur itu.

 

Lebih jauh dari itu, konsekuensi logis dari “tidak ada dikotomi” Sekolah/Madrasah Negeri dan Swasta menurut UU Sisdiknas adalah bahwa Pemerintah mesti (turut) bertanggung-jawab atas maju mundurnya Sekolah/Madrasah Swasta. Itu juga menjadi implikasi dari kata “wajib” dalam Pasal 55 UU Sisdiknas yang dimaksud di atas.

 

Di sisi yang sama dengan itu, kita perlu mengajak Pemerintah dan masyarakat umum lainnya agar dengan sungguh-sungguh “tafakur / saat teduh” untuk melakukan “konsientisasi historis”. Yaitu bahwa Sekolah/Madrasah/Seminarium sudah ada di mana-mana jauh sebelum Indonesia merdeka. Bahkan Sekolah/Madrasah/Seminarium itu menjadi pondok pengkaderan dan pusat pergerakan  bagi para pejuang kemerdekaan dan para cendekia bangsa ini mengisi kemerdekaan. Sekarang pun, bila diadakan penelitian maka pejabat di republik ini masih cukup banyak yang dulunya sekolah/kuliah di Perguruan Swasta.

Baca juga  Gereja & Masyarakat Marjinal

 

Sampai saat ini kehadiran Perguruan Swasta masih signifikan, termasuk pada jenjang sekolah. Mestinya Pemerintah bersyukur ada swasta sebagai mitra kerja merealisasikan amanat Proklamasi RI “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Di beberapa daerah (Sulsel misalnya) justru persentase Sekolah/Madrasah Swasta masih lebih tinggi katimbang Sekolah/Madrasah Negeri. Lihatlah, Perguruan Tinggi jauh lebih banyak dari Perguruan Tinggi Negeri. Madrasah Negeri  hanya kurang lebih 15% dari jumlah keseluruhan Madrasah di Indonesia.

 

Namun demikian, Sekolah/Madrasah Swasta mesti dengan ajek meningkatkan kualitasnya, baik kualitas penyelenggaraan mau pun pengelolaannya. Itu terpenting! Studi banding ke Korea Selatan pada akhir tahun 2017 mesti menampak-nyata dalam peningkatan kualitas Sekolah/Madrasah Swasta yg kita lola. Itu bagian dari realisme yang berpengharapan!

 

5. Guru! Hanya 5x disebut dalam UU Sisdiknas. Digantikan dengan “pendidik”. Oklah!

 

Akhir-akhir ini kita dikejutkan oleh berita yg dilansir Romo Dr. Darmin di WA group kita yaitu penarikan guru PNS dari Sekolah/Madrasah Swasta (surat dari Pemerintah). Kita kaget oleh karena Kementerian PAN & RB sudah pernah  mengatakan kepada PB PGRI bahwa rencana  penarikan itu tidak ada. Adanya isu itu datang dari surat edaran eselon di bawah direktur jenderal di lingkungan Kementerian PAN % RB (demikian informasi yang kami dengar dari beliau Dr. H. Sugito, dalam salah satu rapat Pengurus BMPS Pusat).

 

2. Mestinya Sekolah/Madrasah Swasta pun tidak haram hukumnya jika memperoleh penempatan guru PNS. Mengapa? Oleh karena amanat UU Sisdiknas Pasal 55 itu “wajib”. Kita perlu menolak frasa “guru PNS diperbantukan”.  Lebih tepat disebut “guru PNS ditempatkan/ditugaskan”. Negara menugaskan guru PNS merealisasikan tugas pokoknya di Sekolah/Madrasah Swasta dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

 

Sangat disayangkan bahwa Pemerintah tidak mau peduli berapa besar kerugian Sekolah/Madrasah Swasta setelah ditinggalkan gurunya yang diterima sebagai guru PNS. Apalagi mereka itu lebih banyak yang berlatar belakang pendidikan bidang studi ilmu-ilmu dasar. Banyak Sekolah/Madrasah Swasta yang kewalahan akibat kebijakan Pemerintah yang tidak  bijaksana itu. Seakan-akan “nurani” Pemerintah tidak berfungsi sewaktu mengeksekusi keputusannya yang sangat memprihatinkan itu.

Baca juga  Gereja & Masyarakat Marjinal

 

Dalam forum ini perlu kita mendengar suara dari rekan2 aktivis PGRI yang kita tahu berjuang keras untuk mempertahankan guru PNS tidak ditarik dari Sekolah/Madrasah Swasta. Saya mendengar ksbar dari kawan bahwa dalam forum PGRI hal itu cukup serius dibicarakan.

 

6. Persoalan mengenai masalah yang ditimbulkan penerimaan peserta didik baru yang tidak peduli terhadap eksistensi dan pelayanan Sekolah/Madrasah Swasta sudah kita sampaikan kepada Pemerintah. Demikian pula mengenai guru PNS yang tidak mesti ditarik dari Sekolah/Madrasah Swasta.

 

Forum ini perlu merumuskan apa  yang kita lakukan terkait dengan kedua masalah besar itu (yang saya sebut “malapetaka” / “musibah”). Tentu kita cari jalan keluar yang elegan, baik di tingkat pusat mau pun di daerah-daerah, dan secara nasional. Salah satu yang dapat kita lakukan adalah

KEPRIHATINAN SEKOLAH/MADRASAH SWASTA DI REPUBLIK INDONESIA.

Kita suarakan keprihatinan itu kepada Pemerintah baik di pusat mau pun di daerah-daerah (provinsi dan kabupaten/kota). Kita tinggal memungut dari pradaya yang dituliskan oleh peserta apa akar dan pohon masalah dari kedua crucial point itu dan bagaimana akibatnya terhadap Sekolah/Madrasah Swasta sekarang ini.

 

Namun jika perlakuan elegan dari kita tidak diperhatikan oleh Pemerintah, maka waktunyalah bila kita merancang sebuah perlawanan yang “mungkin tidak lagi elegan”, demo misalnya. Termasuk di Provinsi Bali yang terkenal “adam-ayam”.

 

Bila selama ini kami memberi semacam “fatwa” kepada Sekollah2/Madrasah Swasta di lingkungan BMPS bahwa “demo tidak dibenarkan di sekolah” tetapi dialog,  maka sekarang ini mesti kita pertimbangkan  apakah kita perlu demo kecil-kecilan atau sekalian demo besar-besaran?

 

7. Perjuangan.kita sejak hari inilah yang memberi respon/ jawab terhadap judul pokok-pokok pikiran ini:

Quo Vadis Sekolah/Madrasah Swasta!

 

Jakarta, 22 Januari 2017

 

Salam BMPS! Sekjen

 

Catatan:

Tulisan ini belum sempat dibicarakan pada forum Pemgurus BMPS Pusat.

 

Dipresentasikan sebagai pengantar diskusi pada forum Diskusi Nasional Tentang PPDB dan Guru, di Kampus Dwijandre, Denpasar, Bali,

25 Jan 2018.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here