“Qui legitime certaverit coronabitur. Siapa yang berjuang secara sah, dialah yang akan mendapatkan mahkota.”
Hidup itu ternyata tidak sekadar bisa bernafas dengan lega dan bisa tidur di rumah yang standar, rusunawa, atau ruko, atau apartemen, bahkan rumah kontrakan yang padat pengap. Hidup tidak hanya mengalir begitu saja, mengikut arus, mengikut arah angin atau menari dengan gendang orang lain. Hidup adalah sesuatu yang amat “mulia”, ada prinsip-prinsip, ada teologi, ada ideologi (walau Daniel Bell bilang ideologi sudah selesai), ada etik, moral, ada kepantasan, ada strategi, ada seni untuk bisa survive, ada ini dan itu. Pendeknya hidup itu tidak sesederhana yang dibayangkan. Hidup adalah berkat dan “privilege” dari Tuhan Yang Maha Esa, sebab itu hidup jangan direduksi, dikecilkan atau disederhanakan. Hidup jangan diabaikan dan diisi dengan hal-hal yang kontra produktif apalagi yang ujungnya bisa menjerat kita ke pidana dan “lapas”. Orang bijak berucap bahwa hidup itu adalah “perjuangan”, perjuangan untuk melawan kuasa “diabolic”, perjuangan untuk menegakkan prinsip-prinsip kehidupan yang sesuai dengan ajaran agama.
Dalam hidup yang kita hidupi kita terpanggil untuk mempersembahkan kurban *(sacrifice)* bagi Tuhan dan sesama manusia, dan kita harus menghindar dari tindakan yang menyebabkan orang lain, siapapun dia, menjadi “korban” ( *victims*) dan atau membantu banyak orang yang dalam posisi menjadi “korban”. Itulah hidup yang mulia, hidup yang menjadi *berkat* bagi orang lain karena kita sudah terlebih dulu memperoleh berkat dari Allah.
Hidup yang mulia adalah hidup yang bersedia berkurban dan berdedikasi. Hidup yang tidak terlalu mengkalkulasi dan mengejar benefit. Hidup dengan spirit “ugahari”. Hidup yang solider dan menyatutubuh dengan orang lain. Hidup yang terarah keluar dan bukan yang introvert.
Hidup yang dipenuhi kebaikan dan kebajikan terus mengharumkan nama bahkan hingga saat-saat penguburan. Adalah Lord Shaftesbury bangsawan dari Shaftesbury yang ketujuh adalah seorang pekerja sosial yang aktif dan meninggal tahun 1885. Pada saat pemakamannya orang-orang memadati daerah Trafalgar. Ada sekitar empat puluh ribu buruh pabrik berkumpul disana untuk memberikan penghormatan terakhir. Disepanjang jalan yang dilalui prosesi pemakaman itu berdiri sekelompok orang yang pernah ia tolong dengan berbagai cara.
Pada saat kereta jenazah melewati para pedagang sayuran pemimpin mereka mengangkat spanduk yang bertuliskan “Aku adalah orang asing tapi ia mengizinkanku menginap!”. Sekelompok anak yatim piatu yang pernah ia tolong mengangkat spanduk berbunyi. “Aku sakit dan engkau kunjungi aku!”. Ditempat lain sekelompok besar buruh perempuan membawa selembar spanduk yang bertuliskan “Begitu banyak yang telah kau lakukan untuk saudaraku seperti yang juga telah kau lakukan untukku!”.
Mereka yang selama hidupnya menabur kebajikan maka hingga akhir hayat banyak orang tetap mengingat karya besar dan amal saleh yang telah ia ukir dalam sejarah hidupnya. Mengukir karya terbaik dalam sejarah kehidupan bukan hal yang mudah, dalam dunia yang garang, keras dan sangar orang cenderung bertindak mengabaikan hukum, etik, moral dan prosedur baku. Ada banyak orang yang bahkan melakukan praktik suap, gratifikasi atau apapun namanya agar ia bisa lolos dari berbagai prosedur baku yang sudah ada, atau untuk membayar para oknum agar seseorang terbebas dari jerat hukum. Orang tidak berjuang hingga tetes darah penghabisan untuk memperoleh “mahkota”, orang bahkan bisa menyiapkan “mahar” agar ia bisa memperoleh mahkota itu!
Sejak zaman baheula nenek moyang kita memiliki peribahasa “Berakit-rakit dahulu, berenang-renang ketepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.” Peribahasa ini jelas mengajarkan bahwa ada perjuangan yang mesti dilakukan dalam hidup ini. Ada proses, ada ‘protap’, ada ‘sisdur’ yang mesti ditempuh; seseorang tak bisa “ujug-ujug” naik ke puncak tanpa mau berjuang dengan fair.
Agama-agama mengajarkan bahwa kita mesti menaati aturan dalam rangka kita mencapai sesuatu. Tak bisa ada jalan pintas apalagi melawan hukum dan menodai agama. Kita semua orang-orang yang beragama dan berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang taat dan setia menjalankan ajaran agama. Ajaran luhur dan sakral-transendental itu kita praktikkan di kantor, di dunia politik, di bidang ekonomi, di parlemen, di dunia militer, dimanapun di ruang-ruang sejarah.
Mari berkompetisi secara fair dimanapun, di pilkada, mari berjuang secara sah dan legitim sesuai dengan UU dan dipandu nilai luhur Agama dan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Selamat berjuang. God bless.
*Weinata Sairin*.