Menerangi Dunia

0
1398

Oleh: Pdt. Pinehas Djendjengi

 

 

Yohanes 1:1-18

(1) Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah. (2) Ia pada mulanya bersama-sama dengan Allah. (3) Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatu pun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan. (4) Dalam Dia ada hidup dan hidup itu adalah terang manusia. (5) Terang itu bercahaya di dalam kegelapan dan kegelapan itu tidak menguasainya. (6) Datanglah seorang yang diutus Allah, namanya Yohanes; (7) ia datang sebagai saksi untuk memberi kesaksian tentang terang itu, supaya oleh dia semua orang menjadi percaya. (8) Ia bukan terang itu, tetapi ia harus memberi kesaksian tentang terang itu. (9) Terang yang sesungguhnya, yang menerangi setiap orang, sedang datang ke dalam dunia. (10) Ia telah ada di dalam dunia dan dunia dijadikan oleh-Nya, tetapi dunia tidak mengenal-Nya. (11) Ia datang kepada milik kepunyaan-Nya, tetapi orang-orang kepunyaan-Nya itu tidak menerima-Nya. (120 Tetapi semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya; (13) orang-orang yang diperanakkan bukan dari darah atau dari daging, bukan pula secara jasmani oleh keinginan seorang laki-laki, melainkan dari Allah. (14) Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran. (15) Yohanes memberi kesaksian tentang Dia dan berseru, katanya: “Inilah Dia, yang kumaksudkan ketika aku berkata: Kemudian dari padaku akan datang Dia yang telah mendahului aku, sebab Dia telah ada sebelum aku.” (16) Karena dari kepenuhan-Nya kita semua telah menerima kasih karunia demi kasih karunia; (17) sebab hukum Taurat diberikan oleh Musa, tetapi kasih karunia dan kebenaran datang oleh Yesus Kristus. (18) Tidak seorang pun yang pernah melihat Allah; tetapi Anak Tunggal Allah, yang ada di pangkuan Bapa, Dialah yang menyatakan-Nya.

 

Saya pernah menghadiri suatu perayaan Natal yang dilaksanakan di salah satu gedung megah di Jakarta. Pemberita firman, di awal renungannya, memuji tinggi kerja keras panitia yang telah berhasil “mendirikan” pohon Natal yang megah dengan ukuran lumayan tinggi. Ia berterima kasih kepada seluruh peserta yang telah menyisihkan waktunya untuk datang dalam perayaan Natal malam itu yang dirancang dengan cukup meriah. Lalu, Sang pemberita firman dengan bersemangat menceritakan perihal kedatangan Yesus ke dunia. Ia menceritakan kepedulian-Nya terhadap orang-orang tersisih dan mereka yang hidup dalam penderitaan. Usai perayaan Natal, seorang rekan mengungkapkan kesannya dengan mengatakan: “Natal yang meriah dan khotbah yang peduli, sungguh menyenangkan!”

 

Saya pulang, tetapi kesan rekan itu mengusik hati saya. Terusik, karena ia ternyata membanggakan kemeriahan dan kemewahan sebuah perayaan Natal. Bukan membanggakan Yesus yang lahir itu. Jika Yesus yang lahir dalam kesederhanaan itu yang dibanggakan, maka ia akan merasakan sesuatu yang teramat kontras. Yesus lahir dalam kesederhanaan, dan tetap menginginkan kesederhanaan itu, tapi kita justru merayakan dengan berlebihan. Juga, hati saya terusik, karena sesudah kebaktian kami keluar gedung dan menemukan banyak orang yang meminta-minta. Semakin nyata suasana yang bertolak belakang. Di dalam orang menikmati suatu Ibadah Natal yang megah dan meriah, di luar orang meriang menderita.

 

Natal adalah sebuah koreksi hidup. Yesus datang menghapuskan kesenjangan. Ia membuka jalan bagi bertemunya ‘kaum atas’ dan ‘kaum bawah’. Ia merangkul manusia dalam kepelbagaiannya.

Natal sering menjadi ironi Injil karena tidak dihubungkan dengan kenyataan empiris. Yesus inginkan kesederhanaan tapi kita mau yang mewah-mewah. Yesus menghapus kesenjangan, tapi kita cenderung konsumeristis dan tak mempedulikan orang lain. Yesus selalu merangkul siapa saja, tapi kita terjebak pada sikap ekslusifisme.

 

Natal harus dikembalikan pada maknanya yang sesungguhnya. Yesus lahir untuk manusia, untuk berbagi dan untuk hidup bersama. Ia datang merobohkan konstruksi pelayanan yang terfokus atau terpola dalam prinsip “dari kita untuk kita.” Dalam diri Yesus terpancar arti baru dari sebuah kehidupan, yaitu: “Hidup dalam kebersamaan”.

 

Seorang cendekiawan Islam bernama Adul Munir Mulkhan pernah berbicara tentang Natal dan merefleksikan arti kelahiran Kristus dalam apa yang dia sebut ‘Teologi Kelahiran’. Teologi Kelahiran adalah akar bagi kehidupan yang harmonis. Saya kagum dengan apa yang diuraikannya. Itu tepat sekali! Seperti saya singgung di atas, Yesus datang dengan tujuan keharmonisan hidup. Tetapi, apakah keharmonisan itu ada pada kita? Di sinilah masalahnya. Kalau orientasi perayaan Natal tertuju pada kemeriahan dan kemewahan semata, maka yang sering terjadi orang menghabiskan dana hanya untuk membuat suatu perayaan semewah-mewahnya dan semeriah-meriahnya.

 

Di Hari Natal, kita merayakan kelahiran Yesus, Sang Sabda Kebenaran. Yohanes menyebut peristiwa ini sebagai peristiwa sabda bagi manusia. Dia hidup di tengah manusia dan menjadi terang untuk dunia yang gelap. Kegelapan dunia tidak sanggup mengalahkan-Nya. Dunia sendiri tidak suka menerima Dia. Dia ditolak oleh kepunyaan-Nya sendiri. Ini bukan alasan sehingga Yesus mengubah kebenaran-Nya.

 

Ada yang menerima Yesus, namun juga ada yang menolaknya. Siapa saja boleh menerima kebenaran Yesus tanpa membedakan asal-usul. Dengan menerima kebenaran Yesus orang memberikan diri untuk dilahirkan menjadi anak-anak Allah dan selamat.

 

Yesus sebagai terang tidak pernah dikalahkan oleh kegelapan dunia. Meski ditantang, Yesus tidak pernah goyah dari kebenaran-Nya. Kebenaran Yesus memang mengganggu banyak orang. Herodes terganggu. Imam-imam besar terganggu. Orang Farisi, ahli-ahli taurat dan orang Saduki terganggu. Mereka menentang Yesus tapi Yesus tidak pernah mau mengubah kebenaran-Nya hanya supaya bisa bekerja sama. Lawan-lawan-Nya tidak pernah berhasil memaksa Yesus untuk mengubah warta dan kebenaran-Nya.

 

Seperti Yesus kita pun sering menghadapi sikap orang yang menerima dan menolak kebenaran. Ada orang yang menerima cara hidup kita sebagai pengikut Yesus dan menghargainya. Tapi ada juga yang menolak dan menekan atau memaksa kita untuk “diam” atau memilih cara hidup lain.

 

Ketika kita merayakan kelahiran Yesus dalam perayaan Natal ini, kita diajak untuk merayakan ‘kelahiran’ kembali diri kita bagi dunia ini. Sebagai manusia kita bakal diterima dan ditolak. Itulah resiko iman. Yang penting bahwa kita yakin betul akan kebenaran kita. Kita tidak boleh mengkhianati kebenaran hanya karena kita mau diterima dan disenangi orang lain. Terang tidak boleh dikalahkan oleh kegelapan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here