Pdt. Weinata Sairin: “Fortis cadere, cedere non potest. Yang berani (memang) dapat jatuh tetapi ia tak pernah akan mundur”.

0
1826

Kebesaran dan atau kemantapan seseorang dalam menjalani sebuah kehidupan yang maha luas dan dahsyat ini bisa diukur dari segi “keberanian” yang ia miliki. Keberanian, tentu saja banyak aspeknya : keberanian untuk menyatakan pendapat; keberanian untuk mengakui kesalahan; keberanian untuk mengambil resiko; keberanian dalam mengubah mindset orang banyak; keberanian untuk menegakkan peraturan ; keberanian untuk menyatakan bahwa yang benar itu benar dan yang salah itu salah ; keberanian untuk berhadapan dengan orang atau kelompok penentang, dan berbagai keberanian lainnya.

 

Ada kisah zaman baheula yang menceritakan tentang salah satu aspek keberanian yang cukup menarik. Selama mengabdikan dirinya bagi Republik Perancis, Jenderal Castellane ditugaskan menjaga kota Lyon yang sedang kacau. Kota itu memang berada dalam pengawasan sang Jenderal. Salah satu warga yang paling menyusahkannya adalah seorang _tukang cukur_ yang secara terang-terangan menyatakan dengan arogan bahwa ia akan mengusir sang Jenderal yang buruk itu, jika ada kesempatan. Sang Jenderal tidak takut sedikitpun dengan ocehan tukang cukur itu. Ia langsung datang ketempar tukang cukur itu dan meminta tukang cukur itu mencukur rambutnya. Tukang cukur kaget dan terkejut dengan kedatangan sang Jenderal. Namun ia tetap melaksanakan tugasnya mencukur rambut sang Jenderal, walau tangannya terasa tremor.

 

Sesuai dengan “pro tap” sang Jenderal pun membayar tukang cukur itu sesudah pekerjaannya selesai. Sesudah ia membayar, ia berkata kepada tukang cukur itu : “Tuan, oleh karena engkau tidak memanfaatkan kesempatan untuk menggorok leherku, bukankah sangat tidak bijaksana bila engkau tidak bisa menahan diri untuk mengeluarkan ancaman yang engkau sendiri tidak berani melakukannya?”

 

Keberanian Jenderal Perancis ini dalam merespons tantangan dengan cara-cara “sipil”, pendekatan kemanusiaan dan tidak langsung ‘melibas’ karena dianggap melakukan ujaran kebencian, cukup menarik untuk disimak. Reaksi negatif seseorang terhadap sebuah kebijakan bisa karena banyak faktor. Bisa karena ia tak mampu menyerap konten kebijakan itu dengan tepat karena sosialisasinya parsial; bisa karena sang pembuat kebijakan punya track record tertentu dan atau punya kepentingan politik jangka panjang yang tidak memberi kemaslahatan publik atau memang kebijakan itu non populis sehingga tidak bisa didukung dengan baik. Dalam kasus tukang cukur Perancis itu, tindakan sang Jenderal yang langsung dengan sigap mendatangi dan berdialog dengan tukang cukur cukup baik srbagai bahan pembelajaran.

 

Dalam kehidupan di negeri kita beberapa tahun terakhir ini ada banyak “tukang cukur” sebagai produk dari zaman demokrasi tapi tidak teralu banyak typical model Jenderal Castellane yang melakukan pendekatan kemanusiaan terhadap mereka yang memiliki sikap berseberangan dengan kekuasaan. Orang yang dianggap memiliki keberanian dalam melayari samudera kehidupan bukan saja mereka yang memegang teguh peribahasa jadul “berani karena benar, takut karena salah” tetapi juga karena dasar keagamaan mereka yang kukuh.

 

Sebagai umat beragama, dalam menjalankan aktivitas kehidupan kita selalu melakukan minimal tiga hal : kita *bersyukur* kepada Tuhan atas karunia dan rahmatNya; kita memohon *petunjuk, bimbingan dan perlindunganNya*; kita *berserah sepenuhnya* kepada Tuhan Yang Maha Esa.

 

Acapkali kita dalam doa kepada Tuhan lebih mengedepankan _memohon, meminta_ dan untuk diri/kelompok sendiri. Kita kurang mendahulukan ucapan syukur/bersyukur kepada Tuhan. “Syukur” adalah rasa terima kasih kepada Tuhan atas anugerah, rahmat dan nikmat yang Ia berikan kepada kita. Menurut seorang psikolog bersyukur adalah detektor yang mengingatkan seseorang secara emosi bahwa ia telah mendapat keuntungan dari pertolongan Tuhan. Mereka yang bersyukur kata psikolog, lebih jarang menderita depresi, bahkan mereka merasakan trauma yang lebih ringan pada saat terjadi sesuatu atas dirinya.  Menurut Emmons (“Chalenge in Good Health”) ada beberapa tips yang penting dalam kita bersyukur kepada Tuhan.

 

1. Berjanjilah untuk bersyukur lebih dahulu sebelum melakukan sesuatu.

 

2..Tuliskan minimal 3 hal yang kita syukuri setiap hari.

 

3. Kita lihat foto lukisan, pemandangan, foto keluarga yg membuat kita _amazing_.

 

4.Kita bersyukur atas kondisi fisik kita.

 

5. Ucapkan kata, istilah yang positif, santun, elegan sehingga rasa bersyukur kita tumbuh.

 

Kita harus selalu membangun relasi dengan Tuhan melalui Doa, Ibadah, aktivitas keagamaan lainnya. Dalam rasa syukur kepada Tuhan kita berkarya dengan optimal bagi kemaslahatan orang banyak.

 

Menarik sekali pepatah yang dikutip dibagian awal artikel ini : yang berani itu bisa saja jatuh tetapi ia tak akan pernah mundur. Sebagai orang yang berani berdasarkan kebenaran, kita bisa jatuh, gagal, tidak berhasil karena berbagai hambatan. Tetapi kita tidak akan pernah mundur. Jika kita 7 kali jatuh, kita bsngkit 8 kali. Ayo jadilah orang yang berani. Berani jujur. Berani mengaku salah. Berani mundur. Berani maju. Berani berubah. Berani berkurban.

 

Selamat berjuang. God bless.

 

*Weinata Sairin.*

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here