Pdt. Weinata Sairin: Menaati Aturan yang Mengatur

0
1711

“Leges juraque serva. Tegakkan hukum dan aturan”.

 

Sebuah komunitas betatapun kecilnya memerlukan aturan dan pengaturan. Di zaman modern aturan mewujud dalam berbagai bentuk mulai dari yang paling tinggi dan mendasar hingga yang paling rendah dan amat teknis. Orang mengenal undang-undang dasar, undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan menteri, peraturan gubernur, dan sebagainya, dan sebagainya. Dalam sebuah komunitas yang bernama negara ada peraturan dalam berbagai jenis, bahkan dalam komunitas keluarga sudah dikenal sebuah peraturan. Ada peraturan tertulis, ada juga yang berdasarkan tradisi, konsensus atau konvensi. Dalam sebuah lembaga peraturan lebih dirinci lagi antara lain dalam Prosedur Operasi Standar sehingga kehidupan sebuah lembaga berjalan lebih teratur dan setiap orang dalam lembaga itu ikut terlibat memberi kontribusi.

 

Pada umumnya kita pertama kali dibimbing oleh orangtua kita, baik ayah maupun ibu untuk mengenal dan menjalankan berbagai peraturan dalam lingkup kecil dirumah, dalam keluarga kita. Misalnya orang tua kita memberitahu kita agar ketika mau makan mulailah dengan berdoa, bersyukur kepada Tuhan atas rezeki dalam bentuk makanan yang Tuhan anugerahkan. Orang tua berpesan agar pada waktu makan (apalagi ketika makan dalam proses dikunyah didalam mulut) jangan sekali-kali berbicara. Suara kita tidak terdengar jelas bahkan makanan yang ada dalam mulut bisa berhamburan! Hal penting yang diatur oleh orangtua pada saat makan adalah jangan mengambil terlalu banyak, sebab nanti jika kurang bisa ditambah. Nasi jangan sampai ada yang tersisa dipiring, bukan karena nanti Dewi Sri marah, tetapi karena makanan itu sudah *didoakan* dan ada banyak orang yang kelaparan dibanyak tempat.

 

Kita bertumbuh secara biologis dan psikologis bersama dengan seperangkat aturan yang kita terima di rumah, di masyarakat, di lembaga pendidikan, di lembaga keagamaan, di dalam organisasi dan berbagai komunitas lainnya. Kesemuanya itu amat menolong dalam proses pertumbuhan kita hingga kita dewasa, _mature_ bahkan hingga kita merampungkan tugas kita di dunia fana ini.

 

Aturan dalam berbagai bentuk dan level berujung pada sanksi, baik sanksi moral maupun pidana. Di saat kita kecil, orangtua kita mengingatkan agar kita “taat aturan”. Atau jika kita tidak melakukan sesuai dengan norma atau tata krama yang berlaku saat itu kita di cap tidak tahu sopan santun atau “tidak tahu adat”. Dan jika realitas itu terjadi maka kita telah ikut mempermalukan nama orang tua. Itulah sebabnya untuk hal seperti itu biasanya orangtua kita selalu mengingatkan dan cenderung “cerewet”.

 

Agama-agama memang mengajar kita agar kita selalu menaati aturan pada level dan bobot masing-masing. Segala sesuatu harus berlangsung secara sopan dan teratur. Kita semua memahami bahwa Tuhan Yang Maha Esa mencipta dan berkarya secara teratur. Ada proses, prosedur dan mekanisme yang terjadi dalam karya penciptaan yang dilakukan Allah. Bumi ciptaanNya juga bergerak secara teratur : ada siang, ada malam, kapan matahari berfungsi, kapan bulan memainkan peranannya. Semua berjalan dengan teratur dalam sebuah “manajemen ilahi” yang amat mengagumkan.

 

Kita sebagai manusia yang maju, modern dan berkeadaban hidup dalam ketaatan terhadap aturan-aturan : aturan keluarga, agama, masyarakat, bangsa dan negara sehingga kita menikmati hidup yang bahagia dalam arti sejati. Hal yang acap terjadi adalah bahwa ada inkonsistensi dalam melaksanakan peraturan. Dari realitas inkonsistensi ini orang bicara tentang ” tebang pilih”, “diskriminasi”, “pilih bulu”, “memandang muka” yang intinya mengeritik sikap dan atau praktik pemberlakuan hukum/peraturan yang tidak taat asas, yang memilih orang.

 

Kita secara pribadi dalam kapasitas apapun, pada level apapun harus menjadi pionir dan *menjadi contoh* dalam melaksanakan peraturan. Jangan menggembosi peraturan, mempreteli peraturan, atau menafsirkan peraturan dan menggerakkan orang lain untuk mengubah sebuah persturan demi kepentingan kita atau kelompok kita. Kita seringkali melupakan kefanaan kita, kita kemaruk jabatan sehingga kita mencari celah agar tetap berkuasa dengan memanipulasi peraturan. Realitas ini banyak ditemukan di banyak lembaga pada level manapun.

 

Agama-agama, tokoh agama, lembaga keagamaan, para akademisi seharusnya terus menerus menyuarakan dan memberikan teladan dalam hal melaksanakan peraturan di semua level. Pepatah yang dikutip diawal bagian ini menegaskan “tegakkan hukum dan aturan”. Aturan sudah ada, peraturan dalam berbagai  level sudah banyak sekali; bahkan biaya pembuatan sebuah undang-undang di parlemen mahal sekali biayanya. Jika semua peraturan dan ketentuan perundangan itu ada hanya untuk dilanggar, apa kata dunia??? Mari kita proaktif melaksanakan aturan dan hukum dan mengajak semua pihak untuk taat hukum.

 

Selamat berjuang. God bless.

 

*Weinata Sairin*

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here