Pdt. Weinata Sairin: Doa Sebagai Nafas Kehidupan

0
3395

 

“Lagipula dalam doamu janganlah kamu bertele-tele seperti kebiasaan orang yang tidak mengenal Allah. Mereka menyangka bahwa karena banyaknya kata-kata doanya akan dikabulkan” (Matius 6:7)

 

Doa adalah bagian integral dari kehidupan kita umat beragama, apalagi sebagai warga Gereja. Sejak kecil oleh orangtua kita diperkenalkan dengan aktivitas berdoa, yang pada tahun 50-an masih dikenal dengan istilah “sembahyang”. Kita sebagai umat Kristen hidup dalam _pembiasaan_ berdoa. Waktu kita masih kecil ayah atau ibu kita, jika kita akan makan, sendirian, selalu mengingatkan “Ayo sudah berdoa belum?”. Dan kita tergopoh-gopoh melipat tangan kemudian berdoa, baik doa pendek untuk makan maupun Doa Bapa Kami. Jika makan bersama, biasanya ayah memimpin doa untuk makan. Istilah “sembahyang” pada zaman itu, tahun 50-an masih digunakan dan dianggap sinonim dari kata “doa”.

 

Menurut buku Logat Ketjil Bahasa Indonesia, yang disusun WJS Poerwadarminta 1951, kata ” sembahjang” diartikan _salat_ , _berdoa kepada Tuhan_. Kata “sembahyang” berasal dari kata “sembah” dan “hyang” yaitu menyembah kepada dewa. Istilah itu berasal dari zaman baheula ketika manusia masih percaya kepada dewa, di zaman Animisme. Tanpa mau tahu asal usul kata itu secara etimologis, Gereja ikut menggunakan kata “sembahyang” pada zaman itu, misalnya dalam lagu “Jam sembahyang yang kudus/ W. Bradbury “Sweet hour of prayer” dalam buku nyanyian “Dua Sahabat Lama”/ “Nyanyian Kemenangan Iman”.

 

Di zaman baheula di era tahun 60-an ada cemoohan sarkastis terhadap hakikat doa. Ada cerita seorang guru diruang kelas berkata kepada murid-muridnya: “Cobalah kamu brdoa meminta pensil!” Sesudah beberapa menit guru itu berkata lagi : ” Kalian sudah berdoa kan meminta pensil? Mana bukti doa kalian dikabulkan? Tak ada pensil itu kan? Sekarang ayo minta pensil kepada pak guru!” Dan guru itu kemudian membagi-bagikan pensil kepada seluruh murid. “Nah kamu mengerti sekarang tentang makna doa!”

 

Di zaman itu kekuatan anti agama memang sangat powerfull menguasai banyak aspek dalam kehidupan kita bermasyarakat, berbangsa dan bernegara hingga akhirnya datang hari kelam bagi bangsa ini yaitu Peristiwa Gerakan 30 September PKI, tanggal 30 September 1965. Contoh praktis yang dikemukakan sang guru tadi menggugat sakralitas doa bahkan dalam arti luas telah melecehkan Tuhan Yang Maha Esa. Cara-cara seperti itu tentu takakan mungkin lagi terjadi pada masa-masa pasca G 30 S/PKI apalagi tatkala roh iman dan takwa telah merasuki kedirian republik ini berikut seluruh entitas yang ada didalamnya.

 

Doa bukan terminologi mereka yang skeptis dan tidak percaya kepada Tuhan. Doa harus dikatakan dengan eksplisit sebagai *terminus teknikus* (istilah teknis) bagi kaum beriman, umat beragama. Guru yang membagi-bagikan pensil dalam kisah diawal tadi adalah sosok yang tidak percaya kepada Tuhan, dalam kamus sang guru tak ada kata *doa*.

 

Doa (bukan Do’a, ini bahasa Arab !) kita lakukan setiap saat tanpa mengenal waktu karena doa adalah nafas hidup. Jika seseorang tidak “menyuarakan doanya” tidak berarti ia tidak berdoa. Doa bisa didalam hati; dalam “saat hening atau saat teduh” yang biasanya diatur dalam liturgi Gereja, umat diberi kesempatan berdoa didalam hati. Yesus dalam pelayananNya hidup dalam doa, dan mengandalkan doa. Ia mengikuti kebiasaan bangsaNya berdoa tiga kali yaitu pagi, siang/petang, malam (Mzm 5:4, 88:14) namun Ia juga bisa melakukan doa diluar “jadwal formal”. Ia acap pergi ketempat yang sunyi untuk berdoa, Ia naik ke bukit, Ia berdoa semalam-malaman (Markus 1:32-35, Matius 14:22,23; Lukas 6:12)

 

Yesus sebagai pemimpin di zmannya tahu persis bagaimana para pemimpin dan umat berdoa pada zaman itu. Ia perhatikan cara berdoa, tempat dan konten, termasuk bahasa doa. Dalam Matius 6 : 5-14 Ia khusus membedah realitas doa yang biasa dilakukan saat itu. Ia mengeritik amat keras praktek doa di zaman itu yang memang tipikal doa dari sebuah agama “berbasis hukum/syariah”. Misalnya doa ditikungan jalan raya, berdoa dengan bertele-tele (waktu itu belum ada sound system jadi Yesus tidak mengeritik doa dengan pengeras suara). Tapi Yesus tidak sekadar memberi kritik, Ia memberi jalan keluar, memberi referensi bagaimana doa yang baik (Matius 6:6). Bahkan Yesus memberikan “standar” tentang Doa yaitu Doa Bapa Kami.

 

Yesus sejatinya tidak hanya mengeritik doa itu *an sich*, Ia justru mengeritik praktek keberagamaan umat dizaman itu. Keberagamaan yang bernuansa dekoratif-demonstratif (doa dijalan raya), keberagamaan yang instruktif (doa diulang dan bertele-tele), keberagamaan yang formalistik-ritualistik, bahkan yang tercabut dari degup pergumulan umat, yang tidak tune in dan teralienasi dari realitas kekinian.

 

Suara kritis Yesus yang menggugat kemapanan keberagamaan masih tetap relevan diera digital sekarang ini. Kekristenan harus menjadi nabi bagi zamannya. Doa Gereja dan doa para pemimpin Gereja tidak boleh menjadi doa politik yang bernuansa kekuasaan tapi Doa yang penuh harmoni, memajukan HAM, menegakkan hukum dan keadilan, memelihara kesatuan dan kemajemukan NKRI.

 

Pada tanggal 1 Oktober 2017 Gereja-gereja merayakan Hari Pekabaran Injil Indonesia dan Hari Perjamuan Kudus se-Dunia bertema “Mewujudkan Keadilan Melalui Sikap Berbagi (Ul. 16:1-20) dengan menggunakan liturgi Gereja Protestan Indonesia Luwu (GPIL) yang di kordinasikan oleh Bidang Keeasaan dan Pembaruan Gereja PGI. Kita doakan daya spiritual Perjamuan Kudus makin mengukuhkan eksistensi Gereja dan kekristenan di Indonesia demi memberi kontribusi terbaik bagi NKRI. Mari terus berdoa tanpa henti bagi kekristenan dan Gereja-gereja di Indonesia.

 

Selamat Merayakan Hari Minggu. God bless.

 

Weinata Sairin.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here