Dalam sebuah masyarakat yang multi agama seperti Indonesia, maka nafas dan roh keagamaan itu amat mewarnai kehidupan pribadi dan komunitas. Hari-hari raya keagamaan dari 6 (enam) agama yang sekarang ini mendapat pelayanan dari Pemerintah secara silih berganti terjadi di sepanjang tahun. Keenam agama itu memiliki jumlah hari raya yang cukup besar, dan tentu saja oleh karena alasan-alasan teknis maka tidak semua hari raya keagamaan bisa diberikan “status libur nasional” oleh Pemerintah. Kondisi yang sekarang ini sudah cukup baik ketika beberapa hari raya keagamaan yang dianggap penting oleh agama ybs, telah dijadikan libur nasional. Penetapan waktu hari raya keagamaan itu dilakukan oleh majelis-majelis agama yang bersangkutan, kemudian majelis keagamaan menyampaikannya kepada Pemerintah.
Sekarang ini ada 6 (enam) lembaga/organisasi keagamaan, yang sering disebut Majelis-majelis agama, yang merupakan wadah dari enam agama yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Khonghucu dilayani oleh Pemerintah. Majelis Agama tersebut adalah : Majelis Ulama Indonesia (MUI), Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), Perwakilan Umat Buddha Indonesia(Walubi) dan Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin)
Pemerintah memberikan fasilitasi yang bersifat teknis kepada umat beragama, agar umat dapat melaksanakan aktivitas keagamaannya dengan lancar. Pemerintah tidak melakukan intervensi terhadap ajaran atau teologi yang dikembangkan oleh agama-agama. Teologi atau ajaran bukan ranah Pemerintah tetapi ranah agama-agama yang biasanya digarap bersama dengan majelis-majelis agama terkait.
Pengalaman yang negatif dalam hubungan dengan sikap negara/pemerintah terhadap hari raya keagamaan pernah terjadi pada tahun 2003. Rakor Kesra tanggal 5 November 2003 di Jakarta memutuskan.bahwa hari-hari raya keagamaan terdiri dari yang ritual dan seremonial. Yang ritual tak boleh dimajukan atau diundurkan, tetapi yang seremonial bisa diubah.
Hari-hari raya keagamaan yang ritual menurut Menteri Agama saat itu adalah Idul Adha, Nyepi, Waisak, Idul fitri dan Hari Natal. Sehubungan dengan itu Hari Kenaikan Yesus dimundurkan dari tanggal 29 Mei 2003 menjadi 30 Mei 2003. Termasuk seremonial : Imlek, 1 Muharam, Wafat Isa Almasih,Maulid Nabi Muhammad SAW; Kenaikan Isa Almasih, Isra Mi’raj.
Menjadi persoalan serius dalam konteks relasi agama dan negara adalah apakah memang pemerintah sebagai institusi memiliki kewenangan untuk melakukan kategorisasi hari raya agama : yang ritual dan seremonial. Apakah negara/pemerintah didalam dirinya memiliki kewenangan yang legitim untuk memundurkan hari raya keagamaan? Apa dasar dan siapa yang memberi kewenangan itu?
Pada saat itu Majelis Pendidikan Kristen di Indonesia dan Majelis Nasional Pendidikan Katolik berkirim surat kepada Menteri Pendidikan dan Menteri Agama mempertanyakan secara kritis kebijakan tersebut. Lambaga pendidikan Kristen itu menyatakan bahwa mereka tetap akan meliburkan sekolah-sekolah tanggal 29 Mei 2003 dan lembaga itu meminta agar kebijakan seperti itu tidak diulangi lagi pada masa mendatang.
Konon kebijakan itu ditetapkan dalam rangka pelaksanaan kebijakan pemerintah menggalakkan kegiatan turis ke Bali yang dirasakan menurun sesudah terjadinya peristiwa bom Bali. Dalam kebijakan itu, hari-hari libur yang jatuh pada hari Kamis dimundurkan ke hari Jumat sehingga terjadi aktivitas long weekend yang berdampak positif untuk menggairahkan dunia pariwisata pada masa itu. Mengorbankan hari raya keagamaan demi memajukan dunia pariwisata adalah sebuah tindakan yang mengerdilkan agama yang pada aspek makro bertentangan secara diametral dengan hakikat NKRI sebagai negara berdasarkan Pancasila yang menghargai agama-agama.
Kita semua berharap bahwa dimasa masa mendatang tidak ada lagi kebijakan dan atau program yang dilakukan pemerntah atau swasta yang jelas-jelas dan atau bisa ditafsir mengerdilkan, meremehkan, menodai, mendiskreditkan agama-agama yang dianut masyarakat In donesia.
Pepatah yang dikutip dibagian awal tulisan ini mengingatkan dan mendorong kita agar kita “saling mendoakan”. Sebagai umat yang beragama kita terpanggil untuk saling mendoakan. Mendoakan para pemimpin kita, masyarakat kita yang berjuang bagi hidup yang sejahtera, lembaga kesehatan agar menerapkan asas kemanusiaan dalam melayani masyarakat ( bukan asas keuangan), anggota parlemen dan aktivis parpol, para pejabat di pusat dan daerah, seluruh kementerian dan semua warga bangsa. Kita berdoa sesuai dengan agama kita masing-masing. Doa kita panjatkan dalam ibadah di rumah ibadah, dalam doa-doa pribadi ditempat kita masing-masing. Doa adalah nafas kehidupan, dahulukan doa dan ibadah dari pada gadget! Mari kita saling mendoakan. Bukan saling menebar yang tidak positif.
Selamat berjuang. God bless.
Weinata Sairin.