Pdt. Weinata Sairin:”Ubi peccat aetas maior male discit minor. Ketika yang lebih tua melakukan kejahatan maka yang lebih muda akan belajar dalam kejahatan”.

0
1316

Kekhasan dan nilai spesifik dari seorang manusia bisa dilihat dari berbagai angle. Walaupun acapkali lebih dilihat dari aspek kepakaran, intelektualitas, kekayaan, kompetensi dan talenta yang khusus, asal-usul dan sebagainya, tetapi nilai kekhususan itu acap dilihat juga dari segi *usia*. Orang yang berusia tua, ia dianggap senior, lebih bijak, jam terbang tinggi, sudah lebih banyak makan asam garam, sebab itu ada “penghargaan khusus” terhadap mereka yang berada dalam kategori ini. Misalnya KTP orang tua dalam batas umur tertentu adalah KTP seumur hidup, artinya tidak perlu diperpanjang. Ada restoran yang memberi diskon khusus bagi orangtua yang menikmati makanan di restoran itu. Ada juga perusahaan penerbangan yang memberi diskon khusus bagi orangtua yang menggunakan layanan penerbangan tersebut.

Orang tua, berambut putih, sesepuh, memiliki tempat khusus dalam masyarakat kita. Mereka diberi apresiasi dan respek khusus oleh komunitas dan masyarakat umum. Hal yang menarik dalam perkembangan terakhir adalah bahwa WHO, lembaga kesehatan PBB, memberikan kriteria baru yang menetapkan usia manusia dalam 5 kelompok :
0 -17 th anak-anak dibawah umur.
18-65 th pemuda
66-79 th separuh baya
80-99 th orang tua
100 th orang tua berusia panjang.

WHO menetapkan kriteria baru dengan melihat usia harapan hidup manusia yang makin baik, terutama sekali di negara negara maju. Kita belum tahu secara detil apakah dampak kriteria baru yang ditetapkan oleh PBB ini terutama dihubungkan dengan ketersediaan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan manusia secara terstandar.

Para orang tua, mereka yang berusia tua tidak saja mendapat respek dan penghargaan khusus dari komunitasnya dan masyarakat, tetapi sekaligus dengan itu ucapan dan tindakan mereka juga menjadi referensi dan bahkan ‘standar’ bagi lingkungan yang lebih luas.

Bagi para orang tua, yang dianggap senior, harus pandai memilih dan memilah kata. Harus bisa mengeja kata sesuai dengan prosedur standar. Harus tepat menggunakan istilah karena ada banyak istilah teknis (terminus tehnikus) untuk suatu bidang ilmu tidak selalu cocok dan beda maknanya untuk bidang ilmu yang lain.

Pernah seorang intelektual menggunakan istilah agama Kristen “membaptis” untuk meresmikan nama pesawat terbang yang baru. “Saya *baptis* pesawat ini dengan nama ‘Tetuko'” kata sang tokoh, kalau tak salah tahun 80-an. Ini tentu penggunaan istilah agama (Kristen) yang benar-benar salah secara sempurna. Istilah ‘membaptis’ adalah istilah teologis yang sakral yang tidak bisa dikenakan kepada _benda_ tetapi dikenakan kepada manusia yang secara formal dinyatakan memasuki agama Kristen. Jadi kata “membaptis” tidak bisa digunakan secara tidak bertanggungjawab untuk menamai sebuah benda karena istilah itu adalah istilah teologis yang berhubungan dengan kekristenan.

Seorang pejabat tinggi bahkan siapapun tidak bisa menggunakan istilah agama, diluar maksud dan kepentingan agama itu sendiri. Sebenarnya bisa saja dikatakan ” Dengan ini saya menyatakan dengan resmi bahwa nama pesawat ini adalah Tetuko”. Dengan mengatakan itu istilah teologis “membaptis” diselamatkan dari penggunaan yang sia-sia yang bisa dipersepsi cenderung menodai agama.

Pemikiran, ungkapan kata, sikap, tindakan dan perbuatan dari seorang yang berusia tua, atau orang yang dituakan memang selalu dijadikan “model” atau acuan bagi generasi yang lebih muda. Namun hal itu tidak mudah dan sederhana. Pertambahan usia tidak selalu membuat seseorang menjadi referensi bagi orang lain. Kenyataan empirik disekitar kita dalam beberapa tahun terakhir ini menunjukkan sebuah keprihatinan mendalam, bahwa banyak orangtua dengan berbagai latar belakang dan intelektualitas yang memadai ternyata acap terkena OTT oleh KPK yang berujung pada penjara.

Pepatah yang dikutip diawal tulisan ini mengingatkan bahwa ketika orangtua melakukan kejahatan maka yang lebih muda akan belajar dalam kejahatan. Komunitas keagamaan, institusi pendidikan, dan seluruh potensi bangsa harus terus menerus mengingatkan peran sentral para orangtua dalam mewariskan dan meneladankan hal-hal positif bagi generasi muda, sehingga di masa depan bisa lahir sebuah Indonesia Baru yang lebih solid, powerfull dan berkeadaban.

Selamat berjuang. God bless.

Weinata Sairin.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here