Oleh: Pdt. Pinehas Djendjengi
Matius 5:43-48
(43) Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. (44) Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. (45) Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar. (46) Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian? (47) Dan apabila kamu hanya memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah lebihnya dari pada perbuatan orang lain? Bukankah orang yang tidak mengenal Allah pun berbuat demikian? (48) Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna.”
Musuh dikasihi dan malah didoakan? Yang bener aja, ah. Siapa sanggup? Demikian mungkin kata-kata orang yang tidak bisa menerima perintah Yesus ini. Filsuf Jerman, bernama Freidrich Nietzsche, malah pernah berkata bahwa perintah Yesus itu tidak praktis. Terlalu idealis!
Perintah Yesus ini memang tampaknya berat dan sukar untuk diikuti. Bukankah kita sering mendengar orang Kristen sendiri berkata: “Berat. Saya belum mampu mengasihi musuh saya. Terlalu sakit perbuatannya bagi saya. Hanya orang berhati malaikat saja yang mampu melakukannya.”
Rasanya berat, memang, mengasihi dan apalagi mendoakan musuh. Tapi di sinilah diri dan iman kita diuji, apakah kita benar-benar hidup sebagai pengikut Kristus! Kata Yesus: “Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian? Dan apabila kamu hanya memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah lebihnya dari pada perbuatan orang lain? Bukankah orang yang tidak mengenal Allah pun berbuat demikian? (ayat 46-47).
Sebenarnya perintah Yesus ini tidak idealis. Bahkan sangat praktis. Coba cari, obat apakah yang paling mujarab untuk memadamkan kebencian? Apalagi kalau bukan kasih? Selama kita tidak memiliki kasih, selama itu juga kebencian terus membara. Apa untungnya jika kita memelihara kebencian? Tidak ada. Malah kita semakin dirugikan!
Seorang pemuda dipecat dari pekerjaannya, tanpa kesalahan sedikitpun. Bosnya ternyata salah paham. Tapi semuanya sudah terlanjur. Sang pemuda sangat marah. Ia sangat benci kepada mantan bosnya itu. Selang beberapa bulan ia mendapat pekerjaan di tempat baru. Rasa benci masih tertanam di hatinya. Ia bergumul bagaimana cara menghilangkannya. Akhirnya ia sadar bahwa satu-satunya cara menghilangkan rasa benci itu ialah dengan menemui mantan bosnya. Mantan bosnya kaget setengah mati ketika melihat orang yang dipecatnya dulu datang menemuinya. Ia minta maaf atas tindakannya dulu. Pertemuan itu sungguh memulihkan kembali hubungan mereka. Setelah itu sang pemuda pulang dengan hati lega. Rasa benci tidak ada lagi di hatinya. Langkah yang ditempuhnya ternyata memberi dua keuntungan sekaligus. Ia terbebaskan dari rasa benci dan mantan bosnya terlepas dari rasa bersalah.
Saudara, Kebencian yang dilawan dengan kebencian hanya akan melipatgandakan kebencian. Kebencian itu menyiksa diri sendiri dan orang lain. Kebencian hanya dapat diusir dengan kasih. Kuasa kasih itu hebat, bukan hanya dapat menghilangkan rasa benci tapi juga dapat menutupi banyak sekali dosa (1 Petrus 4:8).
Yesus memberikan perintah ini karena Dia tahu dunia ini selalu diwarnai dengan permusuhan. Permusuhan menimbulkan konflik. Konflik memicu peperangan. Peperangan hanya melahirkan kehancuran. Keadaan seperti ini harus dihentikan. Itulah sebabnya Allah mengutus Putera-Nya untuk merealisasikan kasih-Nya secara nyata. Juga, itulah sebabnya gereja dimunculkan di dunia ini untuk menjadi pelaku-pelaku kasih di mana pun dia berada.
Bagaimana caranya supaya kita dapat mengasihi musuh? Mulailah dengan mengampuni dia. Seperti bunyi doa yang selalu kita panjatkan: “Dan ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami” (Matius 6:12).