Oleh: Pdt. Pinehas Djendjengi
Yeremia 11:11-17
(11) Sebab itu beginilah firman TUHAN: Sesungguhnya, Aku mendatangkan ke atas mereka malapetaka yang tidak dapat mereka hindari, dan apabila mereka berseru-seru kepada-Ku, maka Aku tidak akan mendengarkan mereka. (12) Dan biarpun kota-kota Yehuda dan penduduk Yerusalem pergi berseru-seru kepada para allah yang mereka sembah dengan korban bakaran, tetapi allah itu sama sekali tidak dapat menolong mereka pada waktu mereka ditimpa malapetaka. (13) Sebab seperti banyaknya kotamu demikian banyaknya para allahmu, hai Yehuda, dan seperti banyaknya jalan di Yerusalem demikian banyaknya mezbah yang kamu dirikan untuk membakar korban kepada Baal. (14) Adapun engkau, janganlah engkau berdoa untuk bangsa ini dan janganlah naikkan permohonan dan doa untuk mereka, sebab Aku tidak akan mendengarkan pada waktu mereka berseru kepada-Ku karena malapetaka mereka. (15) Apakah lagi urusan kekasih-Ku di dalam rumah-Ku, bukankah ia sudah melaksanakan rancangan-rancangan yang jahat? Dapatkah nazar-nazar dan daging yang suci melewatkan malapetaka dari padamu, sehingga kemudian engkau dapat beria-ria? (16) Pohon zaitun yang rimbun, elok dipandang mata, pernah TUHAN menamai engkau. Tetapi dengan bunyi keributan yang hebat Ia menyalakan api pada daun-daunnya, sehingga ranting-rantingnya terbakar. (17) TUHAN semesta alam, yang telah membuat engkau tumbuh, telah menentukan malapetaka atasmu karena kejahatan yang telah dilakukan oleh kaum Israel dan kaum Yehuda untuk menimbulkan sakit hati-Ku dengan membakar korban kepada Baal.”
Nabi Yeremia tidak menghendaki umatnya tertimpa hukuman Tuhan. Tapi, justru itulah yang diperintahkan Tuhan untuk ia sampaikan. Hatinya bergumul, ia berpikir dan berusaha mencari jalan untuk menghindari hal itu. Namun ia tidak bisa mengelak. Firman Tuhan yang harus ia sampaikan itu berkecamuk bagai api di dalam mulutnya (Yer. 5:14). Hukuman Tuhan tidak bisa dihindari karena bangsanya semakin jahat di mata Tuhan.
Sesungguhnya Yeremia mendambakan kebaikan bagi bangsanya. Ia mendorong mereka untuk hidup dalam pertobatan. Memang, bangsanya mau bertobat, tapi hanya sesaat saja. Selanjutnya mereka kembali menentang Allah. Mereka hidup dalam kesepakatan jahat (ay. 9) yang makin hari makin meluas (ay. 10). Akibat dari itu mereka mengalami kehancuran dan bahkan menjadi orang terbuang di negeri Babel.
Tuhan marah kepada mereka, sebab selain menentang-Nya, bangsa yang telah dipilih-Nya itu juga menghina nama-Nya yang kudus. Mereka berpaling dari Allah dan pergi menyembah allah-allah lain. Kemarahan Tuhan diungkapkan dengan sangat tandas dalam ayat 11-17. Jika Tuhan terlanjur marah, maka tidak ada gunanya lagi doa (ay. 14), nazar dan kurban persembahan menjadi tidak berkenan di hadapan-Nya (ay. 15). Allah membenci orang yang “ingkar janji”. Selama perjanjian dengan Allah diingkari, tidak ada yang dapat dilakukan manusia untuk meluputkannya dari malapetaka. Kecuali jika manusia mau bertobat dari dosanya.
Tidak ada yang bisa memperkirakan, apalagi memastikan, kapan malapetaka akibat “ingkar janji” dengan Tuhan terjadi. Yang jelas itu akan terjadi sebab pengingkaran terhadap perjanjian dengan-Nya adalah kejahatan dan kekejian bagi-Nya. Dan ini adalah perkara serius bagi Tuhan. Jangan dianggap sepele, hanya karena selama ini kita berpikir tidak terjadi apa-apa walau kita telah melanggarnya. Kita harus waspada jangan sampai semuanya sudah terlambat, teriakan dan permohonan kita tidak berguna lagi di hadapan Tuhan.
Mengingkari perjanjian dengan Tuhan berarti kehilangan tempat dalam Kerajaan Allah. Sebaliknya, jika kita setia kita dilayakkan-Nya. Dengan kata lain, jika kita patuh kita diterima-Nya, jika tidak patuh kita ditolak-Nya. Kesetiaan kepada perjanjian Tuhan akan berdampak pada kesetiaan kita kepada sesama. Kesetiaan kepada Tuhan akan memurnikan kesetiaan kita kepada orang lain termasuk keluarga, kantor, perusahaan, gereja, dan negara. Kesetiaan seperti ini mendatangkan berkat yang melimpah, dan setiap orang yang memperjuangkannya akan menikmati hidup yang penuh kemenangan dan kecukupan. Hanya sayang, kita harus mengakui bahwa kita memang kurang setia. Kita mudah “ingkar janji”. Itu terjadi hampir dalam semua aras: keluarga, pekerjaan dan pelayanan. Tetapi, belum terlambat, masih ada waktu untuk memperbaiki diri.