Pdt. Weinata Sairin: “Sonare inani voce. Bicara dengan suara kosong”.

0
1202

 

 

Dalam kehidupan modern peranan “suara” itu menjadi sangat penting. “Suara” dalam arti “perkataan”, atau “pendapat”, “gagasan”, juga “suara” dalam konteks pemilihan pimpinan dalam berbagai level/aras, “suara” dalam pengertian standar; kesemuanya memiliki makna yang penting. Di suatu acara penggalangan dana panitia mengundang penyanyi top. Suara merdu dari sang penyanyi akan dilelang dan para tamu yang berkantung tebal akan membeli suara itu. Andaikata pada saat yang sudah ditentukan sang penyanyi tak bisa datang karena ada masalah dengan “suara” maka upaya panitia menggalang dana puluhan juta rupiah bisa gagal. Padahal karakter suara penyanyi itu amat khas, lembut melankolis yang tak bisa dicari penggantinya untuk membawakan lagu dari genre musik tertentu.

 

Kita maklum bahwa karakter suara penyanyi itu amat spesifik dan dengan karakter seperti itu sang penyanyi cocok untuk membawakan lagu dari genre musik tertentu. Karakter suara dalam konteks menyanyi memang sangat penting. Orang yang menyanyikan sesuatu lagu harus faham apa karakter suaranya, berdasarkan itu ia memilih lagu yang pas. Orang yang bersuara serak-serak basah tidak bisa menyanyikan sebuah lagu berirama keroncong dengan sempurna disuatu pentas musik, kecuali di kamar mandi. Itulah sebabmya pada saat kita memasuki grup paduan suara, suara kita dites lebih dulu. Apakah karakter suara kita lebih cocok untuk sopran, alto, tenor atau bas. Dengan demikian pada waktu kita berpaduan suara (koor) maka kita ditempatkan sesuai dengan karakter suara kita masing-masing.

 

Memang cukup penting kita memahami dengan baik notasi sebuah lagu secara standar. Pada waktu Sekolah Rakyat lebih setengah abad yang lalu, para peserta didik, dalam mata pelajaran menyanyi diajarkan lagu baru dimulai dengan mempelajari not (angka). Seorang murid harus bisa membaca not angka sesuai dengan tangga nadanya, dan tidak mengeluarkan suara yang sumbang (fals). Dengan demikian sebuah lagu dipelajari dengan membaca notasinya dan tidak hanya mengingat melodi lagu itu tanpa mengetahui/membaca notasinya. Dalam beberapa kesempatan upacara bendera terkadang kita masih mendengar suara yang fals dalam menyanyikan lagu.

 

Seorang mahasiswa di sekolah teologi biasanya mendapat mata kuliah musik gereja. Disitu dipelajari notasi lagu, bahkan not balok sehingga jika nanti mereka menjadi pemimpin umat mereka akan mampu mengajari umat untuk menyanyi dalam ibadah dengan baik lagu-lagu gerejawi sesuai dengan partitur lagu tersebut. Suara yang bagus, merdu (dan tidak fals) amat penting dalam melantunkan pujian kepada Tuhan. Pernah terjadi lebih kurang 30 tahun yang lalu disebuah Gereja di Jabar, dalam ibadah hari Minggu seorang pimpinan umat yang nota bene jebolan sekolah teologi, tidak faham notasi lagu. Ia selalu fals dalam menyanyi, padahal ia berada dalam posisi memimpin. Umat bernyanyi dengan baik, tanpa suara fals. Dan ibadah seperti itu tidak lagi berlangsung khusuk/khidmad.

 

Kasus-kasus seperti ini mungkin satu dua bisa saja terjadi dalam aktivitas umat krstiani. Di zaman modern kondisi seperti itu makin berkurang. Masyarakat kita sudah makin rindu untuk menikmati musik bermutu, lagu dan paduan suara bermutu. Hidup yang modern kadang terasa kering dan membuat penat, sebab itu  musik, sastra  dan bentuk-bentuk karya seni yang lain makin perlu mewarnai kehidupan kita. Beberapa tahun yang lalu grup musik Lingga Binangkit dari Bandung yang biasa membawakan lagu-lagu bernuansa Islami amat bagus karena lagu-lagu di tata dalam format empat suara, demikian juga grup Bimbo. Grup Paduan Suara Unpar Bandung, Paduan Suara Anak Indonesia misalnya sudah terkenal di manca negara karena menampilkan suara yang sangat bagus dari perspektif paduan suara.

 

Suara-suara dalam konteks pemilihan pimpinan juga sangat penting baik pada aras lokal, regional maupun nasional. Suara-suara dalam hubungan  dengan pilkada itu amat kental aroma politiknya yang kadang-kadang tidak lagi senafas dengan ketentuan perundangan dan bahkan menafikan nilai luhur ajaran agama. Aspek politik yang sarat dengan kekuasaan lebih mengedepan dalam konteks ini dan bukan politik dalam konteks “bagaimana mengelola sebuah _polis_ dengan baik.”

 

Sebagai umat beragama kita amat sangat berharap agar warga bangsa kita tetap memiliki daya tahan keberagamaan yang tangguh, yang mengamalkan agama secara _kafah_ dan profesional dalam menjalankan peran sebagai anggota partai politik. Dalam konteks menjalankan aktivitas politik yang profesional kita mengharapkan agar agama tidak dikerdilkan dan atau direduksi menjadi kendaraan, _vehicle_, instrumen politik (praktis). Pemikiran jernih dan clear tentang peran dan posisi agama dalam sebuah NKRI yang majemuk yang berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945 harus selalu kita suarakan. Pikiran tentang harmoni, tali silaturahim, saling menolong dan respek, bahasa dan *wording* yang respek terhadap kemajemukan mesti selalu diperdengarkan. Suara-suara tentang persatuan bangsa, pengalaman empirik kelompok masyarakat dalam menumbuhkan toleransi harus dibagikan kepada khalayak. Anggota parlemen, pejabat pemerintah, para tokoh masyarakat, para akademisi mari kita semua mengembangkan pikiran positif demi sebuah NKRI yang lebih baik. Kita harus lebih sering menggunakan kosa kata *saling*, *kita* dan *kami* dalam berintraksi. Mari ungkapkan suara-suara penuh persaudaraan bukan ancaman, ujaran kebencian dan atau penghinaan. Ungkapkan kata dan suara memotivasi, bukan arogansi kelompok/golongan.

 

Pepatah kita mengingatkan agar kita jangan bicara dengan suara kosong: bubarkan ini itu, hentikan ini itu, yang bisa dimaknai naif dan emosional. Mari bersuara yang cantik dan elegan sesuai dengan fitrah kita sebagai umat beragama.

 

Selamat berjuang. God bless.

 

Weinata Sairin

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here