Oleh: Yerry Tawalujan
“Hati yang penuh dengan kebencian tidak akan pernah mengenal kata puas. Kebencian adalah bara api kejam yang menghabiskan energi orang yang menghidupinya.”
Dalam kitab epos Mahabharata yang ditulis kembali oleh C. Rajagopalachari, dikisahkan bahwa Duryudana putra mahkota Kurawa sangat benci dan iri hati melihat keberhasilan saudara-saudara sepupu mereka Pandawa lima.
Secara licik Duryudana bersekongkol dengan Sengkuni membujuk raja Yudhistira dari pihak Pandawa untuk beradu main dadu. Yudhistira, yang memang gemar bermain judi dadu, tak kuasa menolak tantangan Duryudana.
Tetapi Yudhistira salah menduga. Jika Duryudana yang dihadapi Yudhistira berpikir pasti bisa menang. Ternyata yang maju mewakili Kurawa adalah Sengkuni, yang ahli bermain dadu bahkan tahu trik-trik berbuat curang untuk menang.
Mengetahui pihak Pandawa akan dikalahkan lewat judi dadu yang curang, Widura sebagai penasehat Kurawa memperingatkan raja Destarata untuk menghentikan rencana jahat anaknya Duryudana dan Dursasana yang bersekongkol dengan Sengkuni.
Sayangnya sekalipun bijaksana, raja Destarata terlalu lemah menghadapi kuatnya nafsu jahat Duryudana.
Yudhistira kalah bertaruh di meja judi. Kelicikan dan kecurangan Sengkuni menyebabkan Pandawa kehilangan kerajaan. Para Pandawa lima: Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa bersama istri mereka Drupadi harus meninggalkan istana dan mengembara selama tiga belas tahun.
*JOKOWI LEBIH CERDIK DARI YUDHISTIRA*
Ya, Jokowi lebih pintar dari Yudhistira. Tidak akan mudah menjebak Jokowi lewat trik judi dadu. Jokowi juga lebih cerdik dari Sengkuni yang licik. Bahkan lebih perkasa dari Bhisma maupun Karna yang sakti mandraguna.
Jokowi seakan menjadi inkarnasi dari kesaktian Arjuna, kekuatan Bima, kebijaksanaan Yudhistira dan keteguhan Nakula dan Sadewa.
Selama tiga tahun berada di singgasana nusantara, raja Jokowi pernah hampir dijebak untuk meninggalkan istana secara paksa.
Duryudana yang jahat, Sengkuni yang licik dan Karna yang kuat nyaris memperdaya Jokowi menyerahkan mahkota kerajaannya. Kalau dulu Yudhistira diperdaya lewat judi, kini Jokowi dijebak dengan tujuh juta serdadu.
Tapi Jokowi memang pintar. Selalu selangkah didepan penjebaknya.
*PERANG BHARATAYUDA DAN PILPRES 2019*
Jika Pandawa harus menempuh perang Bharatayuda untuk merebut kembali istana dan harga dirinya, tidak demikian dengan Jokowi. Raja nusantara dari Solo itu kokoh di singgasananya.
Jokowi sedang menyerang balik tanpa harus menunggu perang terbuka. “Kematian” sahabatnya yang dikeroyok Kurawa harus dibalas.
Kurawa kocar-kacir. Jurus ala pendekar mabuk yang tidak bisa diterka terjangannya sedang dimainkan Jokowi. Satu persatu lawan tangguhnya kabur keluar arena dan dilucuti.
Tapi perang Bharatayuda tak terelakkan. Pilpres 2019 harus dihadapi.
Jokowi banyak kemiripan dengan Yudhistira dalam kemurnian dan kesucian hati memegang teguh _dharma_.
Tapi kepolosan dan kemurnian hati Yudhistira sering menjadi bumerang yang merugikan Pandawa.
Jokowi memang pintar dan cerdik melumpuhkan lawan. Tapi di 2019 ada Pilpres Bharatayuda yang memerlukan banyak senopati dan prajurit. Penggalangan logistik tak bisa dihindari.
Ketangguhan melumpuhkan lawan tidak cukup. Jokowi harus cerdik menggalang dukungan untuk membangun pasukan pendukungnya.
27 Juni 2017