Relakah Kita Membasuh Kaki Orang Lain?

0
3314

Oleh: Pdt. Pinehas Djendjengi

 

 

Yohanes 13:1-17

(1) Sementara itu sebelum hari raya Paskah mulai, Yesus telah tahu, bahwa saat-Nya sudah tiba untuk beralih dari dunia ini kepada Bapa. Sama seperti Ia senantiasa mengasihi murid-murid-Nya demikianlah sekarang Ia mengasihi mereka sampai kepada kesudahannya. (2) Mereka sedang makan bersama, dan Iblis telah membisikkan rencana dalam hati Yudas Iskariot, anak Simon, untuk mengkhianati Dia. (3) Yesus tahu, bahwa Bapa-Nya telah menyerahkan segala sesuatu kepada-Nya dan bahwa Ia datang dari Allah dan kembali kepada Allah. (4) Lalu bangunlah Yesus dan menanggalkan jubah-Nya. Ia mengambil sehelai kain lenan dan mengikatkannya pada pinggang-Nya, (5) kemudian Ia menuangkan air ke dalam sebuah basi, dan mulai membasuh kaki murid-murid-Nya lalu menyekanya dengan kain yang terikat pada pinggang-Nya itu. (6) Maka sampailah Ia kepada Simon Petrus. Kata Petrus kepada-Nya: “Tuhan, Engkau hendak membasuh kakiku?” (7) Jawab Yesus kepadanya: “Apa yang Kuperbuat, engkau tidak tahu sekarang, tetapi engkau akan mengertinya kelak.” (8) Kata Petrus kepada-Nya: “Engkau tidak akan membasuh kakiku sampai selama-lamanya.” Jawab Yesus: “Jikalau Aku tidak membasuh engkau, engkau tidak mendapat bagian dalam Aku.” (9) Kata Simon Petrus kepada-Nya: “Tuhan, jangan hanya kakiku saja, tetapi juga tangan dan kepalaku!” (10) Kata Yesus kepadanya: “Barangsiapa telah mandi, ia tidak usah membasuh diri lagi selain membasuh kakinya, karena ia sudah bersih seluruhnya. Juga kamu sudah bersih, hanya tidak semua.” (11) Sebab Ia tahu, siapa yang akan menyerahkan Dia. Karena itu Ia berkata: “Tidak semua kamu bersih.” (12) Sesudah Ia membasuh kaki mereka, Ia mengenakan pakaian-Nya dan kembali ke tempat-Nya. Lalu Ia berkata kepada mereka: “Mengertikah kamu apa yang telah Kuperbuat kepadamu? (13) Kamu menyebut Aku Guru dan Tuhan, dan katamu itu tepat, sebab memang Akulah Guru dan Tuhan. (14) Jadi jikalau Aku membasuh kakimu, Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu, maka kamu pun wajib saling membasuh kakimu; (15) sebab Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu. (16) Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya seorang hamba tidaklah lebih tinggi dari pada tuannya, ataupun seorang utusan dari pada dia yang mengutusnya. (17) Jikalau kamu tahu semua ini, maka berbahagialah kamu, jika kamu melakukannya.

 

Menjelang puncak penderitaan-Nya (kematian di kayu salib), Yesus melakukan pembasuhan kaki kepada murid-murid-Nya. Sebagai Guru, Yesus rela melakukan ini kepada murid-murid-Nya. Tindakan Yesus ini bertentangan dengan kebiasaan umum pada waktu itu (bahkan sampai sekarang juga!), dimana muridlah yang harus membasuh atau melayani gurunya. Yesus membalikkan fakta, bahwa gurupun harus melayani muridnya. Sebuah langkah pelayanan yang bersahaja bukan? Yesus menginginkan murid-murid-Nya nanti menjadi pelayan bagi orang lain. Dia tidak menjelaskan tugas kepelayanan itu dengan kata-kata saja, melainkan juga dengan contoh nyata. Dan, contoh yang ditunjukkan tidak diperagakan kepada orang selevel (misalnya kepada sesama guru), melainkan kepada murid langsung. Ini berarti Yesus harus merendahkan hati-Nya bagi murid-murid dan melayani mereka!

Membasuh kaki adalah tindakan membersihkan bagian tubuh yang paling sering kotor. Setiap bentuk pelayanan harus diarahkan kepada upaya ‘membersihkan kotoran’ (seberapa sering pun ‘kotoran’ itu datang) pada orang lain. Upaya ini harus dilakukan sampai pada tingkat paling bawah. Untuk itu setiap murid (pelayan Tuhan) harus mampu merendahkan hatinya bagi orang lain. Itulah contoh pelayanan yang diberikan Yesus yang wajib (ingat: kata wajib keluar dari mulut Yesus sendiri) dilakukan oleh murid dan pelayan Yesus. Contoh ini sesungguhnya tidaklah sulit dilakukan. Syaratnya pun tidak berat. Yesus tidak memberi syarat, bahwa orang harus terlebih dahulu pandai bicara, bergelar dan berpengalaman untuk melakukan pelayanan. Yang dibutuhkan disini sebagai yang paling pertama dan utama adalah kerendahan hati. Akan tetapi dalam kenyataannya ini sulit dilakukan. Mengapa? Karena umumnya kita masih terkungkung dalam pola pelayanan “memberi asal diberi”. Semangat pelayanan kita berbinar-binar pada saat kita merasa Tuhan memberi sesuatu kepada kita. Lalu ketika tidak diberi kita tidak melayani. Fatalnya lagil, kalau kita sendiri masih selalu menuntut untuk dilayani!

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here