Jakarta, Suarakristen.com
Penguasaan aspek-aspek agraria banyak mengalami ketimpangan oleh karena sekelompok orang. Unit pengelolaan lebih banyak di wilayah barat dibandingkan di wilayah timur Indonesia. Masalah ketimpangan ini mengakibatkan banyaknya konflik agraria dan maritim yang terjadi di Indonesia. Hal ini disampaikan Riza Damanik dari Kantor Staf Kepresidenan dalam Simposium ‘Kedaulatan Agraria dan Maritim’ Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) di Gedung Serbaguna Gubernur Bengkulu, Jumat, 7 April 2017.
“Model ekonomi komunal dalam masyarakat lokal (kearifan lokal) dengan ciri dasar masyarakat Indonesia gotong-royong harus tetapi dipelihara dan lestarikan. Pemerintah melakukan reforma agraria dengan menetapkan target lahan 9 juta hektar tanah objek reforma agraria. Ketimpangan diukur dengan rasio gini, Indonesia saat ini memiliki indeks gini 0.39 yang telah menurun dari tahun lalu. Hal yang disayangkan adalah kebijakan Presiden belum mendapat sambutan dari legislatif dan tidak mendapat dukungan partai politik,” ungkap Tenaga Ahli bidang Kajian Politik dan Pengelolaan Isu-isu Hukum, Pertahanan, Keamanan dan HAM ini.
Mantan Komisioner Komnas HAM, Johny Nelson Simanjuntak menambahkan konflik agraria merupakan konflik laten yang sudah sering terjadi dan banyak kasus yang belum terselesaikan. Pemerintah dengan kebijakan Nawacita menjadikan masalah agraria ini sebagai salah satu prioritas. Begitu juga arah kebijakan pemerintah yang menfokuskan Indonesia menjadi poros maritim dunia.
Menurut pegiat HAM ini, konsep agraria harus sesuai dengan UUD 1945 pasal 33 ayat 3 yang berbunyi bumi, air dan kekayaan alamnya yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Konflik agraria merupakan konflik penguasaan sumberdaya alam yang harus direspon secara kritis.
“Presiden Jokowi sudah membuat kebijakan yang tepat, sayangnya jajaran di bawahnya mulai dari kementerian, pemerintah daerah, dan aparat keamanan masih melakukan hal-hal yang bertentangan dan menyebabkan konflik agraria dan maritim masih terus terjadi. Oleh karena itu perlu ada penerjemahan kebijakan dan sinergisitas pusat dan daerah,” ujar Johny.
Ketua Umum Pengurus Pusat GMKI Sahat Martin Philip Sinurat dalam sambutannya menyampaikan simposium ini diadakan di saat sedang gencarnya pemerintah melakukan pembangunan dalam sektor agraria dan maritim. Reforma agraria dan poros maritim adalah momentum yang harus didukung dan dikawal oleh pemuda agar dapat berjalan sesuai sasaran dan bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan rakyat banyak.
“Pemuda sebagai bagian dari rakyat Indonesia harus turut terlibat memastikan rakyat berdaulat atas tanah dan air Indonesia, sehingga rakyat tidak jadi penonton dan kelaparan di atas tanah air sendiri,” ujar Sahat.
Dalam simposium bertemakan ‘Rakyat Berdaulat atas Tanah dan Air Indonesia’ ini hadir beberapa narasumber seperti Komisioner Komnas HAM Natalius Pigai,
Pendeta Suar Budaya, Sekjend Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi, dan Tim Advokasi Konflik Agraria GKSBS Pdt. Karel Barus.