Oleh: Pdt. Pinehas Djendjengi
Pengkhotbah 8:2-8
(2) Patuhilah perintah raja demi sumpahmu kepada Allah. (3) Janganlah tergesa-gesa pergi dari hadapannya, janganlah bertahan dalam perkara yang jahat, karena ia berbuat apa yang dikehendakinya. (4) Karena titah raja berkuasa; siapakah yang akan mengatakan kepadanya: “Apakah yang baginda buat?” (5) Siapa yang mematuhi perintah tidak akan mengalami perkara yang mencelakakan, dan hati orang berhikmat mengetahui waktu pengadilan, (6) karena untuk segala sesuatu ada waktu pengadilan, dan kejahatan manusia menekan dirinya. (7) Sesungguhnya, ia tak mengetahui apa yang akan terjadi, karena siapakah yang akan mengatakan kepadanya bagaimana itu akan terjadi? (8) Tiada seorang pun berkuasa menahan angin dan tiada seorang pun berkuasa atas hari kematian. Tak ada istirahat dalam peperangan, dan kefasikan tidak melepaskan orang yang melakukannya.
Manusia selalu diperhadapkan pada kemungkinan-kemungkinan terburuk dan kadang kehilangan orientasi hidup dalam kelananya di dunia ini. Oleh karena itu kita memerlukan hikmat. Ingatlah bahwa hikmat sejati datang dari Allah. Hidup dalam hikmat bukan sekedar mengetahui segala perkara lalu dapat menerangkannya. Yang amat penting dari hikmat adalah kita hidup dengan akal budi dan ketulusan hati. Kepribadian orang berhikmat akan mecerminkan tingkah laku yang baik dan jauh dari kekerasan.
Orang berhikmat sadar bahwa dia harus berhati-hati. Tentu saja, tanpa kehilangan integritasnya. Berhadapan dengan raja (penguasa) yang semena-mena, misalnya, dia tetap memperlihatkan kepatuhannya. Dia tidak begitu cepat menempuh jalan konfrontasi, seandainya dia tidak setuju. Baginya, konfrontasi condong menimbulkan masalah ketimbang jalan penyelesaian. Lagi pula, dapatkah dia mengatur raja yang lebih berkuasa darinya?
Kepatuhannya bukan didasarkan pada kesemena-menaan raja, melainkan berdasarkan pada kepatuhannya kepada Tuhan. Bukankah penguasa adalah wakil Tuhan dan layak dihormati? Berhadapan dengan penguasa yang bertindak semena-mena, orang berhikmat tahu memilih tindakan yang tepat. Pertama, mereka sendiri tidak berbuat atau tidak tinggal dalam kejahatan. Ia akan memakai motto (seperti yang dipakai oleh Bpk. Siswono Yudohusodo di era Soeharto): “Hanyut tapi tidak terhanyut”. Kedua, orang berhikmat menggunakan kecerdikannya untuk menilai keadaan yang dapat membahayakan dirinya (ay 3) dan memperhitungkan saat yang tepat untuk bertindak (ay 5b, 6a). Ada waktunya bahwa keadilan akan muncul. Orang berhikmat yakin akan waktu keadilan itu, seperti kata Pengkhotbah: “Segala sesuatu ada waktunya.”
Sebagai orang yang memiliki integritas, orang berhikmat juga tahu bahwa dirinya selalu dan akan berhadapan dengan kejahatan (kefasikan). Oleh karena itu dia harus memeranginya. Tak ada istrahat dalam peperangan ini (ay 8b). Hanya saja dia tetap mengingat bahwa jangan dia sendiri jatuh dalam kejahatan. Juga, dia harus bertindak cerdik dalam menghadapi suatu situasi seperti itu.
Kehidupan gereja dan keluarga-keluarga Kristen membutuhkan hikmat Tuhan agar dapat eksis di tengah-tengah masyarakat dan kehidupan luas. Seringkali kita menghadapi saat-saat sulit dan menekan karena pemberlakuan suatu kebijakan, sehingga membuat kita terjepit. Hati kita mungkin berontak dengan kenyataan tersebut, tapi yakinlah jika kita memakai hikmat Tuhan, kita akan menemukan jalan keluar. Ingatlah bahwa segala sesuatu ada waktunya. Dalam hikmat Tuhan akan datang waktu keadilan dan pembebasan. Amin.