Oleh: Pdt. Weinata Sairin
Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah hidup didalam waktu, dalam frame of time. Ia hidup dalam kungkungan kefanaan. Ia hidup dalam ruang kesementaraan. Ia tengah menapaki jalan dari civitas terrena (the city of world) menuju ke civitas dei (the city of God). Ia, manusia, masih berada ditengah jalan, bak seorang musafir, ia belum arrive, ia belum tiba di terminal yang penghabisan. Ia hidup dalam sebuah iklim “creative tension”, ketegangan kreatif, ketegangan antara menelusuri ‘jalan kekinian’ dan menanti hadirnya ‘keakanan abadi’. Dalam kondisi seperti ini apa yang mesti dilakukan manusia? Agama-agama dalam konteks ini telah memberikan tuntunan yang amat jelas bagi umat manusia.
Melalui nararasi yang spesifik sesuai dengan hakikat dan panggilan masing-masing agama, manusia diperintahkan untuk bekerja mengelola alam secara bertanggungjawab, hidup saling mengasihi diantara sesama manusia, hidup menjalankan perintah Allah. Itulah tugas dan panggilan manusia yang secara mendasar wajib dilaksanakan sepanjang hidupnya.
Sebagai makhluk ciptaan Allah manusia adalah sosok yang lemah, yang tidak sempurna, sebab itu acap ia tidak menjalankan tugas panggilan itu dengan setia dan tekun. Bahkan tindakan manusia oleh pengaruh banyak faktor seringkali bertentangan secara diametral dengan hakikat panggilannya sebagai manusia.
Manusia hidup sailing bermusuhan, menyimpan dendam dan benci yang muaranya bisa konflik dan kekerasan berkrpanjangan, perang, pembunuhan, genocide yang mencederai dan merusak peradaban umat manusia. Manusia mempraktekkan ‘homo homini lupus” dan bukan ‘homo homini socius’. Inilah tragedi kemanusiaan yang selalu terjadi berulang-ulang dalam sejarah dengan berbagai variannya. Agama-agama seakan menjadi Saksi bisu dari tragedi itu, agama kehilangan energi dan powernya bahkan dalam kasus tertentu agama telah menjadi pemicu dari tragedi itu.
Di masa depan agama-agama harus lebih firm dalam memberi tuntunan bagi umat melakukan kebaikan dalam hidup. Agama-agama tak boleh hanya sibuk dengan urusan surga saja, tapi juga urusan dunia, kini dan disini.
Pepatah ini menyadarkan kita pentingnya mengedepankan kata “saling ” dalam menjalani kehidupan. “Saling”adalah simbol adanya dualitas dan pengakuan bahwa kita dari diri sendiri tak punya kemampuan.
Selamat berjuang. God bless.