NON REFERT QUIS SED QUID DICAM: YANG PENTING JANGAN MELIHAT AKU INI SIAPA, TETAPI HENDAKNYA MEMPERHATIKAN APA YANG KUKATAKAN

0
1843

Oleh: Pdt. Weinata Sairin

 

Kita acapkali terjebak untuk hanya memberi perhatian pada seseorang, pada sosok dan figurnya, pada pribadinya. Maka kita mengejar segala sesuatu tentang orang itu: rekam jejak, pengalaman, karier dan berbagai hal diseputar pribadi orang itu lewat bio data, yang bisa dicari diberbagai sumber. Dengan memberi fokus dan perhatian seperti itu maka kita biasanya secara otomatis menerima dan atau mengaminkan saja pemikiran-pemikiran yang dilontarkan orang itu tanpa ada sikap kritis yang proporsional dan argumentatif. Kita memandang muka, kita melihat kesiapaannya, bukan pada “apanya”. Kita lebih memperhatikan “the singer” dan bukan “the song”.

 

Sikap memberi respek dan penghargaan kepada seseorang oleh karena status sosialnya tentu tidak salah. Bahkan hal itu memang sesuatu yang standar yang memang biasa dilakukan dalam membangun relasi antar manusia. Namun adalah sesuatu yang kurang tepat jika kita tidak pernah memberi catatan kritis terhadap pemikiran seseorang yang kita anggap “orang hebat dan populer” walau pemikirannya itu bertentangan dengan kaidah standar dan norma-norma yang baku.

 

Dengan analogi “The singer not the song” yang diungkap di depan tadi, maka kita tak pernah mempersoalkan tentang judul lagu, termasuk genre mana lagu itu, apakah tangga nadanya sesuai, apakah pengucapan liriknya tepat, apakah melodinya dinyanyikan sesuai dengan partiturnya, apakah suaranya memang bagus. Kita hanya memberi applaus kepada sang penyanyi karena namanya top sebagai penyanyi populer.

 

Sebaliknya kita dengan pendekatan “memandang muka” biasanya tidak memperhatikan pikiran dan gagasan yang diberikan oleh seseorang yang kita kategorikan sebagai “orang biasa”. Tanpa mendengar atau membaca dengan saksama apa isi ide/pemikiran/gagasan itu, karena diungkapkan oleh “orang biasa” maka kita sudah dengan lantang menolaknya. Pendekatan “pandang bulu” atau dengan “memandang muka” telah membawa kita pada sikap yang tidak kritis, sikap yang oke saja terhadap ide/pemikiran/gagasan yang datang dari seseorang yang kita kategorikan sebagai “orang besar”.

 

Dalam perspektif agama, kita terus menerus diingatkan ulang bahwa kita harus meninggalkan sikap yang “memandang muka” atau “pandang bulu” dalam berinteraksi dan berelasi dengan orang lain.

 

Mengembangkan relasi itu berdasar dan berbasis kesesamamanusiaan dan bukan berbasis suku, agama, ras, antar golongan, afiliasi politik, aliran keagamaan, dan lain sebagainya. Selama kita merasa bahwa kita adalah sesama bagi yang lain, siapapun dia, dari latar belakang apapun, maka mengembangkan relasi/komunikasi dengan yang lain adalah suatu keniscayaan bahkan tugas suci kemanusiaan.

 

Pepatah yang dikutip dibagian awal tulisan ini mengajak kita mengambangkan pola fikir yang baru yang didalamnya kita memberi respons, perhatian terhadap ide/pemikiran/gagasan dari siapapun tanpa mempertimbangkan kesiapaan orang itu. Yang penting adalah *apa yang dikatakan* bukan *siapa yang mengatakan*. Mari implementasikan pikiran itu dalam kenyataan empirik.

 

Selamat berjuang. God bless.

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here