PDT. WEINATA SAIRIN: MENANTI KEMATIAN, MAKIN TINGKATKAN IMAN

0
1156

_”Mors ianua vitae. Mors mihi lucrum. Kematian itu adalah pintu kehidupan. Kematian itu bagiku adalah rahmat”_

Hidup manusia fana adalah hidup dalam proses _menuju_, bukan hidup yang diam, stagnan, nir gerak. Itulah sebabnya hidup manusia adalah hidup yang dinamik, selalu ramai, bahkan heboh, penuh dengan berbagai kejutan. Hidup acapkali dijelaskan dalam metafora: sebuah perjalanan. Ya perjalanan dari civitas terrena menuju civitas dei; dari “kota dunia” menuju “kota Allah”. Perjalanan dari “kini dan disini” menuju “keakanan abadi” yang dalam bahasa agama biasa disebut *surga*. Diantara civitas terrena dan civitas dei itu ada ‘terminal antara’; bisa di Menteng Pulo, Pondok Kelapa, Pondok Rangon, San Diego Hills, dan sebagainya.

Semua umat manusia, baik ia percaya maupun tidak percaya kepada adanya Tuhan, ia adalah makhluk yang sedang dalam proses _menuju_. Menuju garis finish, menuju pangkalan terakhir, yaitu kematian. Dengan demikian hidup manusia adalah hidup yang sementara di dunia ini. Dalam kesementaraan itulah manusia mengukir karya terbaik sesuai dengan talenta dan kompetensi yang ia miliki. Manusia juga terpanggil untuk menginvestasikan kebaikan disepanjang perjalanan hidupnya sesuai dengan tuntunan agama.

Hal-hal yang mengandung _kebenaran_, _kebaikan_, _kejujuran_ minimal mesti menjadi agenda utama manusia dalam perjalanan ziarahnya ditengah dunia. Dalam sebuah dunia yang amat sekuler, yang didalamnya keluhuran agama direduksi dan atau dijadikan sekadar simbol, maka kebenaran bisa diperjualbelikan dan diputarbalikan. Kebenaran dijadikan hamba kekuasaan, kebenaran ditundukkan ke dalam hegemoni politik yang adalah panglima. Pada waktu Mahatma Gandhi berada di London untuk mengikuti ujian masuk perguruan tinggi, kertas ujian pengetahuan umum berisi pertanyaan sebagai berikut : “Apa yang lebih emas daripada emas itu sendiri?” Gandhi menjawabnya dengan cerdas dan bernas : “Kebenaran!”

Kejujuran, kebaikan juga nyaris hanya menjadi ungkapan terminologis dan jauh dari tindak nyata. Dunia modern dengan roh sekularisme yang amat kuat menggerus habis nilai-nilai luhur keagamaan. Hidup manusia yang berTuhan mestinya dipenuhi dengan kebajikan, amal saleh, diakonia, semangat filantropis, cinta dan kasih sayang diantara sesama.

Pepatah yang dikutip diawal tulisan ini menyatakan “kematian itu pintu kehidupan, kematian adalah rahmat..”. Ungkapan-ungkapan tentang kematian selalu memberi nuansa yang prospektif-eskatologis. Ungkapan-ungkapan itu seakan membebaskan kita dari masalah-masalah politik yang hadir membakar lorong-lorong kehidupan, hampir di setiap menit. Diksi _kematian_ seakan menyadarkan kita bahwa kita hadir didunia ini hanyalah sementara dan bukan selama-lamanya.

Pada hari Minggu 5 Agustus 2018 pk.11.15 di RS Siloam Kebon Jeruk Jakarta Barat, Tuhan telah memanggil kerumahNya di surga Prof Tapi Omas Ihromi-Simatupang (88). Almarhumah lahir di Pematang Siantar 2 April 1930 dikota itu ia menamatkan SD dan SMP. Ia kemudian memasuki SMA di Jakarta, FH UI dan kemudian ke Cornell University USA utk S2 th 1962 dan Doktor Ilmu Hukum UI 1978 dengan disertasi “Adat Perkawinan Toraja Sa’dan dan Tempatnya dalam Hukum Positif Masa Kini”. Ia menikah dengan Prof Dr Ihromi ahli bahasa Semit anggota Gereja Kristen Pasundan kelahiran Garut, di USA th 1959 ketika Ihromi studi di Harvard USA.

TO Ihromi adalah Guru Besar UI yang aktif dalam pemberdayaan perempuan, menulis artikel dan buku diseputar hukum, antropologi budaya. Dari 2 orang anaknya ia dikaruniai 4 orang cucu. Anaknya yang masih hidup adalah dr Nia Kurniati yang menikah dengan Tigor M Tanjung Sekjen Pelatnas dan Ketua Pengurus Yamuger. Almarhumah dikebumikan Selasa 7 Agustus 2018 di Pondok Rangon, dihantar oleh ratusan pelayat dari FH UI, Fisip UI, warga Gereja dan masyarakat luas. Kita kehilangan seorang intelektual yang bersahaja, seorang perempuan tangguh yang care pada peningkatan peran perempuan dalam masyarakat, seorang yang setia kepada Tuhan dan Gerejanya hingga ia dipanggil Tuhan ke rumah Bapa disurga.

Kita semua, siapapun kita, apapun suku, agama, ras, golongan, almamater; kompetensi kita, kita akan menghadapi kematian. Kematian akan datang pada waktunya, tanpa salam, tanpa mengetuk pintu. Jika tidak hari ini ya esok atau lusa atau sesudah itu sesuai dengan Kairos, waktu Tuhan. Kita hanya menunggu, menunggu dan menunggu. Mari makin beriman kepada Tuhan; melakukan perbuatan baik, memberi yang terbaik bagi banyak orang.

Selamat berjuang. God bless.

*Weinata Sairin*

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here