PDT. WEINATA SAIRIN: GEREJA MENDATANGKAN KERAJAAN ALLAH DITENGAH SEJARAH

0
1122

 

 

“Sebab Kerajaan Allah bukanlah soal makanan dan minuman tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita oleh Roh Kudus”. (Roma 14:17)

 

Terminologi “Kerajaan Allah” amat sering digunakan oleh umat kristiani, namun _keseringan_ itu tidak secara otomatis berarti bahwa umat faham makna dari istilah itu. Ketidakfahaman seperti itu bahkan dialami oleh para murid Yesus yang setiap hari hidup bersama Yesus berdialog dan berdiskusi dengan Yesus. Mereka _ignore_ terhadap penjelasan Yesus tentang Kerajaan Allah dan juga topik penting isinya. Mindset para murid dirasuki roh politik yang memahami Yesus sebagai seorang _hero_ yang akan melakukan perlawanan terhadap penguasa yang ada dan kemudian Yesus akan mendirikan sebuah kerajaan baru sama seperti kerajaan di era Perjanjian Lama. Gagal faham para murid tentang misi Yesus, kotbah Yesus menjadikan para murid hanya dalam posisi “kebersamaan fisikal” dengan Yesus dan tidak pada posisi “kebersamaan visi”. Ketidakfahaman para murid tentang sosok dan garis pemikiran Yesus sangat kentara dan diungkapkan eksplisit pada keempat Injil dalam Perjanjian Baru. Dalam Kotbah di Bukit (Mat. 5-7) sebenarnya Yesus menyampaikan pokok-pokok penting ajaranNya yang selalu berbeda dengan ajaran dan pemikiran yang ada di zamanNya. Keberbedaan yang kontras itu diungkapkan Matius dalam struktur kalimat yang amat jelas, misalnya : “Kamu *telah* mendengar firman ini, *tetapi* Aku berkata…”( Mat. 5:38,49; Mat. 5:43,44). Bentuk “kamu telah..tetapi” ini secara sengaja diungkapkan oleh Yesus agar para murid dan siapapun memahami dimensi yang spesifik dan khas dari ajaran Yesus.

 

Perjanjian Baru cukup banyak mengungkapkan kedangkalan pemikiran para murid tntang Yesus atau sikap skeptis para murid tentang sosok dan misi Yesus. Dalam Injil Sinoptis misalnya (Mat.17:1-13 dan paralelnya dalam Markus dan Lukas), murid-murid itu ingin mengurung Yesus ditenda diatas ‘gunung kemuliaan’ karena mereka terpesona dengan sosok Yesus pada saat di gunung itu, “wajahNya bercahaya seperti matahari dan pakaianNya putih bersinar…” bahkan nampak Yesus sedang berdialog dengan  2 orang tokoh besar PL yaitu Musa dan Elia. Mereka ingin Yesus ada dalam kondisi mulia di gunung itu dan tak usah turun lagi untuk pergi ke Yerusalem. Tapi Yesus tak bisa mengubah programNya bahwa Ia harus turun gunung dan merangkul derita di Yerusalem.

 

Dalam mindset yang sama dengan apa yang ada diruang publik tentang Kerajaan  Allah, maka ibu Yakobus dan ibu Yohanes mendatangi Yesus dan sujud dihadapanNya sambil memohon agar anak anak mereka kelak duduk di dalam Kerajaan Allah, yang seorang di kanan, yang seorang di kiri. Yesus merespons permintaan tendensius itu dengan menyatakan bahwa “kamu tidak tahu apa yang kamu minta…”.

Ibu para murid itu yang GR tentang status anak mereka nanti sesudah kerajaan itu terbentuk langsung.datang kepada Yesus. Mungkin saja itu insiatif murni dari para Ibu yang biasanya lebih sensitif dan antusias terhadap fasilitas, tapi bisa juga para murid itu “memperalat” ibu mereka untuk datang dan bicara kepada Yesus. Urusan menjadi ring 1, menjadi inner circle kekuasaan tidak hanya penting di zaman now, tapi ibu-ibu di zaman Yesus telah juga melihatnya dengan amat cerdas.

 

Sebenarnya dalam Doa Bapa Kami, Yesus dengan amat jelas mengajar umat dengan narasi *Datanglah kerajaahMu*. Ia tidak  mengajarkan dalam Doa itu misalnya “Perluaslah kerajaanMu” atau “Tambahkanlah kerajaanMu”. Yesus mengajarkan “Datanglah kerajanMu”. Yesus tidak memahami Kerajaan Allah dalam konsep berfikir yang _ekspansionistik_, dan _triumpalistik_, dalam perspektif perluasan dan pemenangan, tapi lebih dalam pemahaman _keberlakuan_ nya., perwujudannya, pemberlakuannya, konkretisasinya.

 

Di ruang-ruang ibadah, kita acap mendengar doa persembahan dengan narasi klise “kiranya persembahan ini dapat dipergunakan untuk *memperluas kerajaanMu*”. Kerajaan Allah bukan kerajaan Majapahit atau kerajaan Pajajaran yang rajanya selalu berhasrat ekspsanionistik, memperluas dan memperlebar wilayahnya, teritorinya. Kerajaan Allah tidak diperluas, tapi di datangkan, di wujudkan, di berlakukan, di nyatakan, di eksekusi. Dalam konteks pemikiran itu maka narasi (klise) doa persembahan yang masih menggunakan rumusan “memperluas kerajaan” diubah dan dirumuskan lagi dengan tepat dan benar.

 

Dalam Surat Roma istilah “Kerajaan Allah” hanya muncul di bagian ini saja. Dalam surat-surat Korintus, Galatia, Efesus, Kolose dan Tesalonika istilah itu juga muncul. Kerajaan Allah selalu dimaknai sebagai pemerintahan Allah, tidak menunjuk pada makna ‘wilayah’.

 

Paulus merespons dengan cukup bijak masalah yang berkembang di Jemaat Roma. Sebagai umat yang datang dari ex Yahudi sebagian mereka masih dikuasai oleh roh hukum Taurat. Fasal 14-15 secara jelas menampilkan sikap Paulus tentang makanan, menghakimi orang lain, hari-hari yang baik dan sebagainya sebagai isu yang nencuat dan mengganggu stabilitas Jemaat. Paulus tidak ingin warga nya terjebak pada diskusi kontra produktif apalagi yang bisa menimbulkan perpecahan sebab itu mengajak umat untuk lebih fokus pada aspek yang lebih makro dan staregis yaitu Kerajaan Allah.

 

Paulus menegaskan bahwa Kerajaan Allah tak bisa di reduksi hanya soal makanan atau minuman. Kerajaan Allah adalah soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita oleh Roh Kudus. Bagaimana kebenaran itu harus diperjuangkan, ditegakkan, diberlakukan; kebenaran berdasarkan UU, hukum positif harus diberlakukan. Kerajaan Allah juga mencakup soal damai sejahtera dan sukacita oleh Roh Kudus. Gereja harus bersuara lantang membela kebenaran, memperjuangkan damai sejahtera dan hidup yang penuh sukacita.

 

Ungkapan Paulus dalam Surat Roma ini mengingatkan ulang agar sebagai Gereja dan umat kristiani kita berjuang terus mendatangkan Kerajaan Allah di kekinian sejarah. Kebenaran, Damai sejahtra dan Sukacita harus  hadir mewarnai kehidupan umat manusia.

 

Selamat Merayakan Hari Minggu. God bless

 

*Weinata Sairin*

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here