PDT. WEINATA SAIRIN: TERUS BERKARYA SELAMA MENTARI MASIH BERCAHAYA

0
1246

 

 

_”Segala sesuatu yang dijumpai tanganmu untuk dikerjakan, kerjakanlah itu sekuat tenaga, karena tak ada pekerjaan, pertimbangan, pengetahuan dan hikmat dalam dunia orang mati, kemana engkau akan pergi”_ (Pkh 9:10)

 

Kerja, bekerja mendapat tempat yang amat penting dalam konteks kehidupan umat beragama. Semua agama mengingatkan bahkan memotivasi manusia untuk bekerja, dan bukan menjadi seorang yang _pemalas_. Bekerja adalah tugas manusia. Di awal sejarah manusia ditempatkan Allah di taman Eden untuk _mengusahakan_ dan _memelihara_ taman itu (Kej. 2:15). Tugas untuk bekerja, imperatif untuk berkarya, datang kepada manusia sebelum ia jatuh kedalam dosa. Kerja, bukan _hukuman_ atas dosa. Bahwa sesudah manusia jatuh kedalam dosa kerja mendapat sebuah pespektif yang baru, mendapat _underline_ itu soal yang lain. Bekerja dalam perspektif makro adalah menerlibatkan diri dalam proses penciptaan yang Allah lakukan ditengah sejarah. Bekerja sebab itu tidak sekadar jargon, tagsline, atau ‘ideologi’ sang penguasa, bekerja adalah ekspresi religius dari sosok manusia beragama.

 

Bekerja tidak hanya sebuah istilah “sekuler”, bekerja juga memiliki dimensi teologi yang amat dalam. Di dalam _bekerja_ ada aspek tanggungjawab dan kredibilitas manusia, ada urusan etik, ada kaitan dengan harkat dan martabat manusia. Yesus malah, sesuai dengan “tupoksi”nya telah mengelaborasi makna _kerja_ dengan lebih apik dan cantik tatkala Ia merespons sebuah realitas dizamanNya. Ia nyatakan : “Bekerjalah, bukan untuk makanan yang akan dapat binasa, melainkan untuk makanan yang bertahan sampai kepada hidup yang kekal…….” (Yoh 6:27). Hal itu ditegaskan oleh Yesus ketika Ia melihat kecenderungan orang banyak mengejar Dia hanya untuk urusan perut dan tidak pertama-tama karena mujizat yang Yesus buat (bdk Yoh 6 : 25-26). Yesus mengajak orang banyak agar tidak terpukau pada _roti_ terpenjara pada hasrat ekonomis,  pada perut kenyang, pada *gizi* pada aspek luaran, (pada jargon politik). Ia ingin mengubah mindset para murid dan orang banyak hidup tidak berhenti pada roti dan perut kenyang; hidup adalah juga memahami tanda-tanda keajaiban yang Yesus presentasikan dan apa maknanya bagi hidup di keakanan.

 

Istilah yang Yesus gunakan “makanan yang akan dapat binasa” dan “makanan yang bertahan sampai kepada hidup yang kekal” amat menarik oleh karena Ia secara langsung menetapkan “status” dan “kategorisasi” makanan yang selama ini agaknya luput dari sebuah _burning issues_. Disini Yesus benar-benar menampilkan kecerdasan seorang pemimpin yang mampu secara tepat dan adequat melontarkan gagasan tentang “makanan yang bertahan sampai kepada hidup yang kekal” ditengah adanya ‘rush’ dari publik terhadap roti yang merepresentasikan “makanan yang akan dapat binasa”.

 

Yesus selalu berupaya untuk mengubah concern orang dari hal-hal yang “kini dan disini” kepada hal-hal yang akan berlangsung di keakanan, hal-hal yang bernuansa eskatologis. Yesus mengajak orang berfikir makro-strategis dan visioner dan tidak mikro temporer. Hal itu nampak begitu jelas ketika Ia diperhadapkan dengan pertanyaan para murid tentang siapa yang berdosa sehingga ada orang buta sejak lahirnya (Yoh 9: 1-5 dst). Murid-murid tengah hidup dalam arus pemikiran (teologi) yang sedikit matematis yang populer di zaman itu bahwa “penyakit itu akibat dosa”. Murid-murid tentu berharap Yesus memberi respons afirmatif tentang hal itu dengan mengacu kepada teologi yang tengah populer. Tapi Yesus pemimpin yang cerdas, clever dan cerdik. Ia tidak menjawab secara matematik. Yesus malah secara berani melawan dan menggugat pandangan populer yang tidak benar saat itu. KataNya : “Bukan dia dan bukan juga orang tuanya tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan didalam dia” (Yoh 9 : 3).

 

Dan sesudah Yesus menjawab diplomatis pertanyaan muridNya, maka Ia langsung menyampaikan butir pemikiran penting : “Kita harus mengerjakan pekerjaan Dia yang mengutus Aku selama masih siang, akan datang malam dimana tidak ada seorangpun yang dapat bekerja” (Yoh 9:4). Yesus menyadarkan para murid untuk tidak terpukau pada realitas kekinian yang dialami dalam kehidupan, berikut tafsir (teologinya) tetapi melihat segala sesuatu dalam perspektif masa depan. Yesus mendorong agar para murid mendayagunakan waktu yang ada sehingga optimal dalam menjalankan tugas pelayanan, karena waktu itu amat terbatas, dan ada saatnya kita tidak bisa melakukan apa-apa lagi.

 

Kitab Pengkhotbah 9:10 dalam nada yang tidak jauh berbeda dari ungkapan Yesus, menyadarkan dan mendorong umat agar melakukan pekerjaan itu sekuat tenaga. Bekerja itu adalah sebuah kesempatan terbaik selama masih ada nafas kehidupan. Dengan narasi yang cukup _keras_ Pengkhotbah menyatakan bahwa _dalam dunia orang mati, kemana engkau akan pergi_ tak ada *pekerjaan, pertimbangan, pengetahuan dan hikmat*!

 

Selama masih hidup, masih bernafas lakukanlah pekerjaanmu. Penyadaran dengan narasi yang keras, karena dikaitkan dengan kematian, bisa tetap bermakna dan tidak vulgar, sejauh kita memahami bahwa-masa waktu kehidupan kita amat terbatas, pada kisaran 70-90 di dunia ini. Senyampang ada waktu, dan nafas masih berhembus marilah terus bekerja, memberi yang terbaik bagi Allah dan manusia sesuai dengan tuntunan agama, sejalan dengan teladan Yesus Kristus.

 

Selamat Merayakan Hari Minggu. God bless.

 

*Weinata Sairin*.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here