Pdt. Weinata Sairin: Menebar Cinta Membangun Bangsa

0
1366

 

 

“Nil nequit amor. Tidak ada yang tidak dapat dilakukan oleh cinta”

 

Manusia sejak awal di desain sebagai makhluk ciptaan Allah yang bekerja, berkarya ditengah jagat raya. Ia tidak diciptakan hanya sekadar ‘memenuhi’ bumi, menyentuh ruang dan waktu. Ia dicipta dalam konteks penugasan, dalam spirit imperatif. Manusia harus mengelola bumi ciptaan Allah dengan penuh tanggungjawab, dengan SOP yang Allah tetapkan waktu itu. Kamu boleh lakukan ini itu, boleh makan ini itu tapi buah yang disana itu yang atraktif, yang menggoda jangan kamu makan. Itu pesan Tuhan yang bersifat imperatif diawal sejarah. Manusia bukan saja di desain sebagai makhluk yang _bekerja_ tetapi sekaligus manusia yang hidup dalam _relasi_. Manusia yang terikat dalam _dualitas_ dalam keterhubungan dengan manusia lainnya, bahkan keterhubungan dengan ciptaan Allah. Ia membangun relasi, komunikasi, aliansi strategis, mengembangkan akses, memantapkan sinergi dan kolaborasi. Merajut benang–benang talisilaturahim dengan banyak orang di seluruh bagian dunia. Dalam mengembangkan aspek relasional dan memberi ruang pada dimensi _gender_ maka kehadiran Adam, lelaki gagah, seorang diri tanpa sosok manusia lain dianggap tidak lengkap; maka Allah menciptakan perempuan bernama Hawa. Proses penciptaannya berbeda dengan penciptaan Adam; aspek keduaan dan kesatujiwaan antara lelaki dan perempuan itu nyata dengan penciptaan Hawa yang diambil dari tulang rusuk Adam. Dalam realitas penciptaan ini sangat jelas bahwa *keadaman* itu menghadirkan *kehawaan* dan keduanya ada dalam kesatujiwaan.

 

Disepanjang sejarah kehidupannya manusia itu menampilkan kediriannya dengan mengukir karya terbaik, mengembangkan akal budi dan pemikirannya yang kesemuanya kemudian melahirkan jejak-jejak peradaban di dalam sejarah, yang didalamnya dimensi kesenian memberi kontribusi yang cukup besar dalam peradaban manusia.

 

Relasi antar manusia, terutama relasi antara lelaki dan perempuan menemukan titik singgung yang amat kuat tatkala relasi itu dinafasi oleh _cinta_, love. Seorang penulis menyatakan bahwa kekuatan cinta itu amat dahsyat, the power of love itu seperti maut. Cinta itulah yang kemudian menyatukan dualitas manusia dalam institusi yang disebut perkawinan.

 

Novel, film, naskah drama, lukisan, nyanyian dalam berbagai genre, sinetron, FTV, dan banyak cabang kesenian yang kemudian memberi ruang yang amat luas untuk mengelaborasi makna cinta dalam berbagai angle sehingga _cinta_ bisa difahami dan dihayati dengan lebih baik.

 

Cinta, kemudian banyak sekali melahirkan kosa kata baru, diksi, istilah yang acapkali hanya dikenal dalam ruang lingkup yang terbatas. Misalnya kata “rindu” atau “kangen” yang amat khas dalam konteks cinta, diungkap dengan puitis sekali oleh penyair terkenal Aceh D. Kemalawati dalam puisi pendek berjudul Kangen.

 

*Kangen*

 

kalau kangenku makin membara/

tak cukup lautan kata/

meredamnya/

maka berikan aku sebilah rencong/

untuk kutikam di dada hampa/

 

Banda Aceh, 17 Juli 2010

 

Puisi pendek D. Kemalawati benar-benar mampu menjelaskan gemuruh kangen yang menyiksa dadanya. Kangen, rasa rindu untuk bertemu sang kekasih adalah sebuah perasaan yang acap muncul dalam relasi antar 2 orang yang mencintai. Kangen terjadi oleh karena lama tak bertemu, lama tidak melakukan kontak, lama tidak berkomunikasi. Bobot kangen kepada sang kekasih memiliki perbedaan dengan kangen kepada orang tua atau kangen kampung halaman. Kemalawati menyatakan jika lautan kata tak mampu lagi menjadi medium untuk mengekspresikan rasa kangen yang membara itu, maka jalan terakhir adalah _rencong_.

 

Pepatah yang dikutip dibagian awal tulisan ini menyatakan bahwa tidak ada yang tidak dapat dilakukan oleh cinta. Oleh dorongan cinta, seseorang bisa melakukan segala sesuatu. Cinta melahirkan kemampuan, kreativitas, kompetensi dan kepiawaian. Cinta bisa mengubah paradigma berfikir kita, cinta membuat kita ‘sama sekali baru’ karena cinta tumbuh dari nurani terdalam kita. Cinta menempa kita menjadi seorang yang memiliki daya sensitivitas tinggi; cinta mengubah dan membarui kedirian kita. Seorang bernama Francis Asisi konon pernah melakukan perjalanan jauh dengan berkuda. Di perjalanan ia bertemu seorang penderita kusta yang memegang mangkuk kayunya. Francis mundur ketakutan; ia melemparkan dompetnya yang penuh uang kepada orang itu dan cepat-cepat berlalu. Francis terus melarikan kudanya lebih cepat. Namun tiba-tiba ia menarik kekang kuda dan menghentikannya. Francis kembali kearah lokasi yang tadi dilewatinya, ia melompat kebawah dan mendatangi sang penderita kusta itu lalu _memeluknya_ seakan-akan orang itu saudaranya sendiri. Francis mengalami pembaruan diri. Cinta kasih Tuhan sudah merasuki kediriannya dan dengan cinta kasih Tuhan itulah Francis mendatangi sang penderita kusta dan mencintainya seutuh penuh.

 

Kita semua, siapapun kita, telah hadir dalam pentas sejarah oleh dan dalam kuasa cinta; baik cinta kasih manusia maupun cinta kasih Tuhan. Benih-benih cinta sejatinya ada mengendap dalam tubuh kita, mewarnai kedirian kita, yang kadangkala memancar dari tubuh kita. Dalam interaksi kita dengan banyak orang, ditengah dunia yang gaduh, sangar dan tidak bersahabat, benih-benih cinta yang mengendap dalam tubuh kita mesti kita pancarkan keluar sehingga mampu menghadirkan suasana penuh harmoni dan silaturahim dalam ruang-ruang kehidupan kita.

 

Kita harus terus mengungkapkan narasi-narasi cinta, melawan ujaran kebencian dan in formasi hoax yg bertebaran dimana-mana. Kita harus mengembangkan pemikiran positif dan menanggalkan pemikiran-pemikiran negatif. Kita harus berjuang terus untuk menyuarakan nada-nada cinta kasih diseluruh bagian negeri agar atmosfer perdamaian bisa di hirup oleh seluruh warga bangsa. Mari kita hidup saling mengasihi dan mencintai.

 

Selamat berjuang. God bless.

 

*Weinata Sairin*

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here