Gereja Menyambut Pilkada 2018.

0
2854

Oleh: Theofransus Litaay

 

 

 

 

Pilkada 2018.

 

Sebentar lagi masyarakat Indonesia akan disibukkan dengan keriuhan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara serentak di 171 daerah yang akan berlangsung di tahun 2018 yang proses persiapannya telah berlangsung saat ini. Pilkada yang dilaksanakan secara langsung dan serentak merupakan perwujudan dari pembangunan bidang politik di Indonesia.

 

Pilkada serentak 2018 merupakan ujung dari masa transisi pelaksanaan pilkada serentak sejak 2015, 2017, dan 2018 untuk mencapai pilkada serentak secara nasional pada tahun 2024 sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang nomor 10 tahun 2016. Hal ini menunjukkan komitmen Indonesia untuk menjalankan sisitem politik yang demokratis pada semua tingkatan pemerintahan.

 

Salah satu ciri dari negara demokrasi modern adalah rule of law, penghargaan terhadap perbedaan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Pada sisi lain secara yuridis pelaksanaan pilkada merupakan pelaksanaan dari amanat konstitusional UUD 1945 sebagaimana yang telah diterjemahkan ke dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-undang sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-undang.

 

Undang-Undang tersebut bersama-sama dengan telah menjadi dasar bagi penyusunan berbagai Peraturan KPU (PKPU) yang akan dipakai sebagai rambu-rambu hukum dalam pelaksanaan pilkada, termasuk lima PKPU yang diterbitkan pada tahun 2017 sebagai paket peraturan Pilkada 2018.  Salah satu bagian dari aturan yang baru adalah ketentuan yang memberikan kewenangan yang lebih besar kepada badan pengawas pemilu kepala daerah (bawaslu) dalam memeriksa laporan perkara dan membuat keputusan yang langsung berlaku. Hal lainnya adalah larangan kampanye di rumah ibadah dll.

 

Pilkada damai.

 

Presiden Jokowi mengingatkan agar Pilkada tidak memecah kerukunan yang telah berjalan selama ini, dalam sambutannya kepada masyarakat saat pertemuan di Bandung bahwa “Saya titip negara ini negara besar, jangan sampai pemilihan gubernur, pemilihan bupati, pemilihan walikota, apalagi nanti menginjak pemilihan presiden 2019, jangan sampai pilihan berbeda karena demokrasi yang kita jalankan menjadi pecah, tidak rukun lagi, jangan!” ucap Jokowi dalam Perayaan Hari Ulang Tahun Angkatan Muda Siliwangi (AMS) ke-51 di Gedung Merdeka Kota Bandung, Kamis 28 Desember 2017.

 

Dalam pandangan Presiden, kita merupakan saudara sebangsa dan se-Tanah Air yang bisa berbeda pilihan namun tetap merupakan saudara sebangsa setanah air. Diingatkan oleh Jokowi bahwa “Jangan sampai tidak saling sapa tetangga, antar kampung, antar teman, jangan!”.

 

Isu SARA.

 

Pemerintah tentunya bekerja keras memastikan pelaksanaan agenda-agenda demokrasi berjalan dengan baik dan teratur di Indonesia. Prestasi Indonesia secara internasional sangat baik dalam pembangunan demokrasi, Perludem misalnya menunjukkan bahwa berdasarkan indeks status demokrasi global dari International Institute for Democracy and Electoral Assistance (International IDEA), skor pemerintahan perwakilan Indonesia pada 2015 sebesar 0.71. Ini lebih baik dibandingkan rata-rata skor regional dan global adalah 0.51 dan 0.58. Namun demikian secara Indeks Demokrasi terjadi penurunan Indonesia pada tahun 2016 sebagai pengaruh dari kondisi kampanye Pilkada DKI Jakarta 2017 yang diwarnai dengan ketegangan dan kampanye SARA serta mobilisasi politik identitas agama.

 

Peringatan Presiden di atas sejiwa dengan suara masyarakat yang menginginkan pilkada yang damai, bebas dari kampanye SARA dan mobilisasi identitas agama. Pengalaman pilkada DKI Jakarta 2017 terakhir merupakan kenangan buruk. Organisasi Perludem bahkan mensinyalir adanya pesan-pesan partai politik yang mencanangkan akan mengulang strategi Pilkada DKI dalam pilkada lainnya di daerah-daerah sehingga potensial memperluas masalah.

 

Catatan berbagai pihak menunjukkan bahwa peran penyelenggara Pilkada sangatlah penting, tidak heran bahwa disinyalir sebagai pihak yang selama ini banyak menjadi sumber konflik / sengketa pasca pilkada. Untuk itu pemerintah membentuk lembaga DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu) sebagai alat kontrol terhadap penyelenggara pemilu.

 

Hasil evaluasi Pilkada 2015 dan 2017 menunjukkan bahwa persoalan kampanye SARA dan profesionalisme penyelenggara pemilu/pilkada memang merupakan satu tantangan tersendiri.

 

Masalah Hoax dan pesan kebencian.

 

Isu SARA dan pesan kebencian politik umumnya disebarkan melalui pesan media sosial, baik yang bersifat pesan telepon seluler (Whatsapp dll) maupun website media sosial (Facebook, Twitter, dll). Dampaknya sangat luas karena pesan dapat masuk langsung ke ruang pikiran pribadi tanpa adanya penyaringan terlebih dahulu. Media sosial yang dahulunya dominan sebagai sarana memperkuat jaringan sosial berubah menjadi medan perang informasi antara berbagai kelompok pendukung.

 

Situasi semakin negatif pada saat media sosial kemudian dimanfaatkan oleh kelompok radikal tertentu yang menyebarluaskan pesan kebencian baik yang bersifat SARA maupun politik.

 

Kondisi semakin memprihatinkan ketika politik menghalalkan segala cara menggunakan isu-isu atau pesan-pesan palsu (hoax) dalam rangka menggalang kekuatan massa, mengagitasi dan memprovokasi pengikut. Dalam situasi semacam ini sudah diperlukan penegakan hukum yang tegas.

 

Mabes Polri menangani hal ini secara sangat serius, khususnya terkait penggunaan media sosial sebagai pengantar pesan-pesan kebencian, melalui pembentukan Direktorat Tindak Pidana Siber yang cukup aktif saat ini menegakan hukum di media siber.

 

Sejak lahirnya hukum siber sejak beberapa tahun lalu, baru pada dua tahun terakhir inilah penegakannya terasa nyata dan tegas. Masyarakat diajak untuk mendidik diri sendiri agar bijaksana dan bertanggung-jawab dalam menyebarkan informasi melalui media sosial.

 

Peran lembaga keagamaan.

 

Hal lain yang menghambat makna pilkada sebagai alat rekrutmen politik demokratis adalah mobilisasi dana politik yang sangat sering mewarnai pilkada. Bahkan beberapa pihak menunjukkan bahwa pilihan pemilih dipengaruhi pula oleh faktor dana politik.

 

Menjawab tantangan di atas, edukasi politik kepada pemilih sangatlah penting. Pemilih perlu menyadari bahwa pilkadan merupakan momentum untuk memilih pemimpin dalam rangka menjawab masalah-masalah pembangunan dan bukan oleh pertimbangan pragmatis maupun politik uang. Disinilah peran gereja dan lembaga pendidikan sangat diperlukan.

 

Gereja yang hidup di tengah-tengah kehidupan masyarakat Indonesia saat ini memiliki peluang untuk ikut membina masyarakat dalam menyambut agenda politik pilkada 2018. Gereja bagian dari masyarakat akan turut terimbas dinamika pilkada baik pada kadar rendah maupun tinggi. Kadar tertinggi pengaruh gereja akan terjadi pada wilayah dimana jumlah pemilih yang juga warga gereja berjumlah cukup besar atau mayoritas.

 

Hasil observasi yang dilakukan penulis terhadap para tokoh dan pemimpin gereja di wilayah-wilayah yang akan dilangsungkan Pilkada dan yang memiliki jumlah pemilih warga gereja cukup besar maupun kecil (Papua, Maluku, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Timur, Bali, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah) menunjukkan adanya kesamaan tema keprihatinan pemimpin gereja terhadap krisis yang bisa ditimbulkan dari pelaksanaan pilkada langsung tahun 2018 ini.

 

Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) sangat prihatin terhadap langkah pihak-pihak tertentu yang melakukan instrumentalisme agama dalam politik sebagaimana dikemukakan Pdt Dr Albertus Patty. Melalui instrumentalisme seperti ini, agama dimanfaatkan sebagai alat untuk tujuan-tujuan non keagamaan seperti kekuasaan politik dan ekonomi.

 

Para pemimpin gereja menunjukkan adanya dua tantangan bagi gereja yaitu tantangan internal dan tantangan eksternal. Hal ini tidak berbeda dengan kondisi organisasi keagamaan lainnya.

 

Tantangan internal adalah terkait dengan sikap kepemimpinan gereja terhadap politik khususnya larangan pemanfaatan mimbar gereja untuk kampanye terselubung calon kepala daerah, program pembinaan warga gereja khususnya mencegah warga gereja sebagai penyebar kabar Hoax, serta kebersamaan jemaat agar tidak retak akibat pengaruh pilkada.

 

Secara eksternal adalah kekhawatiran akan berulangnya isu atau masalah politik identitas SARA dalam pilkada seperti kasus pilkada DKI Jakarta tahun 2017, keterlibatan tokoh gereja dalam tim sukses calon kepala daerah, dan peran gereja memperkuat identitas kebangsaan khususnya ideologi Pancasila dan semangat Bhinneka Tunggal Ika serta konstitusi UUD 1945. Ini semua sangatlah penting terutama mengingat pilkada tahun 2018 digadang-gadang sebagai pendahuluan dari pemilu legislatif dan pemilu presiden tahun 2019.

 

Godaan eksternal terhadap internal gereja sangatlah kencang. Dalam analisa Pendeta Dr Eben Nuban Timo yang diwawancarai penulis, gereja dapat dibedakan antara arus atas gereja yaitu para pejabatnya dan arus bawah gereja yaitu warga jemaat. Menurut Dr Nuban Timo, umumnya arus atas memahami bahwa pemilu dan pilkada sangat menentukan bagi tegaknya Pancasila, juga bagi pemerintahan yang bersih dan berwibawa tapi cukup banyak yang gagal menghadapi kuatnya gaya pencitraan dari partai politik atau kandidat tertentu.

 

Berbagai teolog yang diwawancarai penulis menunjukkan bahwa kesulitan elite gereja menghadapi pencitraan politik disebabkan oleh belum berkembangnya teologi politik sebagaimana dikemukakan Pendeta Domidoyo Ratupenu atau teologi Pancasila atau teologi publik. Nuban Timo mencatat bahwa sekolah-sekolah teologi masih mengajarkan teologi yang doktrinal fundamentalis dan belum teologi yang kontekstual.

 

Pendeta Dr Margie De Wana Ririhena mengemukakan bahwa ada masalah yang perlu diselesaikan pada level teologi, karena masih ada teologi gereja yang melegitimasi stereotipe bahwa politik itu kotor akibatnya gereja kurang (bahkan tidak) “mempersiapkan” dengan sungguh warga jemaat yang akan memasuki dunia politik praktis dalam hal ini pilkada serta terus “mendampingi” pada saat telah menjabat. Sehingga gereja seringkali hanya menjadi kendaraan politik oknum-oknum tertentu tetapi ditinggalkan dalam pengambilan kebijakan/keputusan ruang publik.

 

Pendeta Nuban Timo dan Diben Elaby mengkhawatirkan terimbasnya warga gereja terhadap politik uang. Menurut Nuban Timo, hal ini dipengaruhi oleh dua faktor yaitu: Pertama, mandegnya pendidikan politik oleh arus atas dalam gereja kepada warga, hal yang sama dikemukakan pula oleh Pdt Dr Margie De Wana Ririhena. Faktor kedua menurut Nuban Timo adalah kartu politik uang, etnis/suku, dan agama yang dimainkan oleh partai politik.

 

Pendeta Reza Syaranamual bahkan mengingatkan bahwa jika elite gereja terlalu aktif dalam politik maka warga gereja bisa kehilangan kepercayaan kepada gereja. Untuk itu pimpinan gereja diharapkan tetap menyuarakan suara kenabian yaitu suara kebenaran dan keadilan, pimpinan gereja diharapkan tidak menjadi tim sukses calon kepala daerah. Suara kenabian adalah wujud partisipasi politik gereja.

 

Terkait partisipasi politik gereja, Pendeta Dr Nico Gara menyampaikan bahwa gereja tidak boleh terjebak pada salah satu titik ekstrim, baik yang acuh tak acuh ataupun menjadi serupa dengan partai politik. Gereja mesti memberdayakan jemaatnya untuk berpartisipasi dalam politik demi keadilan, kebenaran dan kesejahteraan bersama karena “Politik” Gereja adalah politik Kerajaan Allah bukan politik duniawi.

 

 

Terkait masalah partisipasi di atas, Pendeta Dr Ronny Helweldery menganalisis bahwa peran gereja sangat dipengaruhi oleh pemahaman gereja tentang politik dan partisipasi politik. Gereja masih berpandangan dikotomik yang memisahkan dunia sosial politik dari iman gerejawi. Akibatnya muncul kekosongan pemahaman yang potensial menimbulkan salah langkah dan ujungnya adalah tabrakan kepentingan dan keberpihakan politik dalam pilkada. Sehingga rejim pilkada yang mewujud dalam penyelenggaraan pemerintahan oleh kepala darah hasil pilkada tidak lagi menajdi fokus partisipasi politik gereja baik partisipasi yang bersifat kritis maupun konstruktif. Padahal momen lima tahun kerja pemerintah daerah sangat krusial.

 

Dari Papua para pemimpin gereja mengharapkan agar gereja menjadi lembaga yang membina integritas pribadi calon pemimpin. Pendeta Petrus Bonyadone dari Papua mengingatkan bahwa gereja perlu mendoakan agar politik tetap menghidupkan dan tidak mematikan rakyat. Selain itu gereja perlu membina warga jemaat agar menjadi garam dan terang dunia. Pendeta John Leleuly mengemukakan bahwa gereja mengharapkan semua kegiatan berjalan aman dan damai, peran para pendeta harus berdiri di tengah dan tidak memihak kepada satu kandidat karena mereka adalah umat Allah dalam Yesus yang dipercayakan kepada gereja. Jadi dimintakan untuk berdoa memohonkan peran Roh Kudus dalam pelaksanaan pilkada 2018.

 

Penutup.

Pemerintah akan tetap mengelola agenda pilkada 2018 secara bertanggung jawab. Untuk itu peran dari berbagai instansi sangat diperlukan untuk profesional dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi masing-masing.

Lembaga penyelenggara khususnya KPU dan KPUD diharapkan profesional dan akuntabel dalam bekerja sehingga pilkada 2018 dapat berjalan secara terbuka, lancar, damai, dan bersih.

Lembaga penegak hukum akan bekerja maksimal untuk memastikan keberhasilan Pilkada 2018. Serta mencegah tindakan-tindakan yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.

Partai politik dan para calon kepala daerah harus meninggalkan politik identitas dan mengutamakan politik programatik dalam kampanye mereka.

Melihat berbagai tantangan di atas, bagaimana sebaiknya sikap gereja? Para pemimpin gereja di pusat dan daerah memandang bahwa gereja bukanlah lembaga yang berwenang dalam pilkada namun gereja mendukung pemerintah dalam mewujudkan pilkada damai yang menghadirkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa.

Gereja juga ikut bersama berbagai kelompok masyarakat lintas agama dalam rangka memperkuat semangat Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Itu pula sebabnya gereja memandang penting kehadiran berbagai aturan perundang-undangan yang memperkuat ideologi Pancasila. Menolak politik identitas dan menuntut aktor politik untuk melakukan politik programatik.

Gereja diharapkan melakukan pembinaan dan penguatan kepada kaum muda khususnya, sehingga memiliki ketahanan sosial sehingga mampu mengkritisi konten-konten negatif dalam pemanfaatan media sosial. Serta melakukan pembinaan kepada jemaat khususnya kaum muda supaya mengisi media sosial dengan konten-konten positif dan membaca konten-konten negatif secara lebih kritis.

Gereja juga perlu memperhatikan masyarakat pedesaan. Khususnya program untuk melayani masyarakat miskin dan pemberdayaan masyarakat agar tidak menjadi faktor pemicu kebencian.

Sebagaimana dikatakan Pendeta Albertus Patty, warga gereja harus mulai jangan lihat kedalam tapi melihat keluar. Ini relevansi menjadi garam dan terang dunia. Bukan dalam pengertian untuk kepentingan diri supaya aman, tetapi garam dan terang dunia supaya menjadi pengikut Kristus supaya menjadi berkat. Patty mengingatkan bukan karena fear tapi karena faith, karena itulah panggilan iman seorang Kristen untuk hadir di masyarakat.

 

Artikel ini terbit di majalah Berita Oikumene terbitan PGI Edisi Januari 2018.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here