Pdt. Weinata Sairin: Mengubah Kemauan Menjadi Tindakan

0
1392

“Voluntas habetur pro facto. Kemauan itu baru diperhitungkan karena (ada) perbuatan”.

 

Pada zaman baheula, tahun 50-an murid-murid Sekolah Rakjat (kini Sekolah Dasar) selalu diingatkan oleh bapak dan ibu guru sebuah peribahasa yang berbunyi “Dimana ada kemauan, disitu ada jalan”. Peribahasa seperti itu acap diungkapkan misalnya ketika para murid tidak mau berusaha keras untuk mengerjakan ‘pekerjaan rumah’ yang sudah ditugaskan oleh bapak ibu guru. Bapak Ibu guru berasumsi bahwa para murid tidak ada kemauan yang sungguh-sungguh dan mencari jalan agar mereka bisa mengerjakan pekerjaan rumah dengan baik.

Bapak dan Ibu guru selalu mengulang peribahasa “Dimana ada kemauan disitu ada jalan” setiap ada kesempatan, baik di depan kelas maupun secara pribadi dalam percakapan Bapak Ibu guru dengan seorang murid sesuai dengan kasus yang dihadapinya.

 

Kemauan, keinginan, cita-cita, hasrat adalah ungkapan-ungkapan yang hampir sama artinya, yang dilakukan manusia yang isinya biasanya menyatakan bahwa seseorang ingin memperoleh sesuatu yang ia idam-idamkan baik dalam jangka pendek atau jangka panjang.

 

Memang dalam penggunaannya, kata-kata itu memiliki makna yang agak sedikit berbeda. Misalnya kata “cita-cita” adalah sebuah keinginan jangka panjang, yang sifatnya lebih makro dan strategis. Seorang mahasiswa yang ditanya tentang cita-citanya di masa depan ia bisa mengatakan “saya merampungkan studi S3 saya lebih dulu baru kemudian menjadi dosen”.

 

Kata “ingin” bisa amat teknis tapi bisa juga makro dan sedikit “absurd”. Contoh : “saya ingin sekali makan gado-gado. Siang ini saya akan makan siang di Boplo, disana gado-gadonya enak sekali.” Keinginan yang agak absurd bisa kita simak dari contoh kalimat berikut. “Saya ingin agar anak-anak saya semuanya bisa menjadi menteri!”

 

Pernah seorang pejabat kementerian menyatakan “saya ingin agar dalam Pilkada serentak tidak dimainkan unsur sara”. Keinginan seperti itu amat bagus sekali; kita semua sadar bahwa menjadikan isu sara sebagai instrumen (negatif) untuk memenangkan Pilkada bisa amat destruktif. Tingkat destruktifnya cukup besar oleh karena memposisikan agama tidak dalam konteks yang dihormati, sekaligus juga berpotensi menimbulkan friksi dalam kerukunan antar umat beragama. Keinginan luhur dari pejabat kementerian itu bisa terwujud jika pemikiran tentang hal itu dirumuskan dalam ketentuan perundangan.

 

Bahkan hal-hal yang sudah jelas diatur dalam ketentuan peraturan perundangan tenyata tetap ditabrak juga. Banyak dari antara kita cenderung untuk mencari celah bagaimana cara menyiasati sebuah ketentuan perundangan agar kita terbebas dari ketentuan tersebut.

 

Ada banyak organisasi yang tema kerjanya atau visinya mengusung pembaruan dan atau perubahan. Jika tema dan visi itu tidak dijabarkan dalam program konkret, peraturan/regulasi yang mendukung, para fungsionaris tidak mampu menjelaskan dan meyakinkan anggota tentang tema dan visi itu maka tema dan visi itu tidak bisa dilaksanakan.

 

Sebagai umat beragama kita semua terpanggil untuk mewujudkan keinginan (yang positif) dalam hidup kita. Keinginan itu pertama-tama bersumber dan mengacu kepada nilai-nilai luhur agama. Dengan doa, _nawaitu_, niat baik, kita melakukan semua keinginan baik itu dengan rasa syukur dan penuh sukacita.

 

Pepatah yang dikutip dibagian awal tulisan ini menyadarkan kita bahwa kemauan kita baru diperhitungkan karena ada perbuatan. Lembaga, organisasi, institusi punya tema, visi, pikiran pokok atau apapun namanya. Pribadi  punya cita-cita atau juga resolusi.  Mari kita wujudkan semua tema, visi, resolusi itu dalam ruang nyata. Bebaskan semuanya dari ruang ide, atau sebuah narasi belaka. Kita tak boleh hanya janji tapi memberi bukti!

 

Selamat berjuang. God bless.

 

*Weinata Sairin*

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here