Pdt. Weinata Sairin:” Memaknai Pengalaman Historis Secara Kritis”

0
1478

 

“Forget injuries, never forget kindnesses”(Konfucius)

 

Hidup yang kita hidupi, sejujurnya tidak selalu dalam kondisi yang aman, sejuk, damai, harmoni, sejahtera, nyaman, “amazing” dan “inspiring”. Ada tangis, air mata, ada cerita sukacita dan tawa ria, ada awan duka menggantung di langit hitam legam dan kesemuanya mewarnai perjalanan seseorang dalam menapaki hari-hari yang Tuhan karuniakan kepadanya. Sosok manusia adalah sosok yang jatuh bangun dalam merenda kehidupan. Kata orang bijak kemuliaan manusia terletak pada kesiapannya untuk bangkit delapan kali, tatkala ia jatuh tujuh kali. Namun menjalani itu semua; jatuh bangun, suka duka dalam menggapai kehidupan manusia dicekam perasaan “traumatik”.

 

Trauma psikologis dalam perspektif psikologi dijelaskan sebagai ‘jenis kerusakan jiwa yang terjadi sebagai akibat dari peristiwa traumatik. Tatkala trauma mengarah kepada gangguan stres pasca trauma kerusakan mungkin melibatkan fisik di dalam otak dan kimia otak yang mengubah respons seserorang terhadap stres di masa depan’.

 

Dalam sebuah kehidupan yang penuh dengan berbagai kegaduhan ada cukup banyak orang yang mengalami pengalaman traumatik. Orang takut bepergian dengan pesawat jenis tertentu dari perusahaan penerbangan tertentu karena pesawat itu pernah mengalami turbulensi hebat dalam perjalanan ke Manila; kawan-kawan di Aceh yang mengalami hebatnya gempa dan tsunami Aceh yang menyebabkan mereka kehilangan istri, suami, anak-anak, orang tua membuat hal itu sebagai trauma dalam kehidupan mereka. Trauma berkaitan erat dengan pengalaman yg dialami seseorang yang bersifat psikis sehingga memberi dampak negatif sekarang dan dimasa yang akan datang.

 

Dalam melayari samudera kehidupan yang amat luas dan terkadang digoncang ombak ganas yang menerjang garang, sesekali ada pesimisme yang mekar di kedalaman nurani. Namun tatkala kita melalui doa memohon kekuatan baru dari Tuhan Yang Maha Esa, kita kembali mendapatkan energi baru. Kita memang  tidak bisa memungkiri bahwa kehidupan kita yang fana dililit oleh “dualitas” di semua aspek. Ada suka-duka, panjang-pendek, baik-buruk, tinggi-rendah, hidup-mati, putih-hitam, pro-kontra, dan selanjutnya. Hidup sebenarnya berada dan menetapkan pilihan diantara dualitas itu, diantara dua “kutub” itu. Hidup tak bisa “abstain” dan atau “abu-abu”.  Hidup adalah menetapkan pilihan; sepanjang kutub yang tersedia itu bukan sesuatu yang definitif maka terbuka ruang untuk mencari sebuah terobosan baru, new breakthrough, yang bukan ini atau itu.

 

Kita harus bersyukur kepada Tuhan bahwa dalam menapaki kehidupan ada banyak berkat Tuhan yang kita alami yang selalu menumbuhkan inspirasi dan motivasi baru bagi kita untuk terus melangkah dalam hidup ini.

 

Hanya acapkali karena begitu banyaknya berkat dan anugerah yang kita terima dari Tuhan, maka kita menganggapnya sebagai sesuatu yang rutin saja dan luput dari kategori “berkat”. Kita memperoleh anugerah kehidupan, kita sehat, kita sembuh dari sakit, kita bisa melakukan aktivitas sehari-hari dan seterusnya itu semua harus dimaknai sebagai *berkat Tuhan* sebagai ” barokah dari Allah SWT” dan tidak cukup difahami sebagai sesuatu yang *rutin* saja.

 

Pengalaman traumatik dialami seseorang tidak saja karena peristiwa tsunami, gunung meletus, pesawat jatuh, kapal laut yang karam, kematian orang yang dikasihi karena malpraktik. Peristiwa KDRT, kekerasan seksual, mahar politik, pengusiran saat ibadah, pemberhentian dari jabatan bisa menimbulkan sesuatu yang traumatik dalam diri seseorang.

 

Sebaliknya ada peristiwa sukacita yang dialami seseorang yang acapkali juga “surprise” karena tak pernah dipikirkan sebelumnya. Misalnya seseorang mendapat royalti sesudah puluhan tahun menulis, lulus dengan “cum laude” kwalau ia merasa tidak terlalu tekun dalam studi, promosi jabatan diluar perhitungan dan sebagainya. Peristiwa duka berpotensi membuat orang traumatik; peristiwa sukacita tersimpan indah dalam memori yang menggairahkan kehidupan.

 

Cukup menarik pepatah yang diungkapkan Konfusius agar kita melupakan hal-hal yang menyakitkan dan mengingat hal-hal yang menyukacitakan. Kita biasanya terpenjara pada memori-memori masa lalu baik yang indah maupun yang menyakitkan. Kesemua yang kita alami dalam hidup ini baik indah maupun menyakitkan adalah bagian dari pembelajaran dari kehidupan. Kita tetap syukuri pengalaman itu apapun realitasnya; dengan beragam pengalaman itu kita akan lebih ‘mature” dan mantap dalam menjalani kehidupan. Ungkapan Konfucius penting untuk membantu kita memaknai sejarah manusia lalu dengan lebih baik dan kritis.

 

Selamat berjuang. God bless.

 

*Weinata Sairin*.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here