Pdt. Weinata Sairin: Berjalan Demi Nama dan Bersama Allah

0
1433

“Biarpun segala bangsa berjalan masing-masing demi allahnya, tetapi kita akan berjalan demi nama TUHAN Allah kita untuk selamanya dan seterusnya” (Micha 4 : 5)

 

“Disebuah Perjalanan”

 

“Kita berjalan terus/dengan segenggam keyakinan paling tulus/tiada seorangpun yang berhak/memaksakan segala kehendak/atas keyakinan /yang telah kita gariskan.

kita berjalan terus/dengan keyakinan tak pernah pupus/walau jalan Kristus/penuh bukit batu dan tandus.

 

Jakarta, Mei 1969.

(Weinata Sairin, Disebuah Perjalanan, serangkai puisi, BPK GM, Jakarta, 2003)

 

Acapkali sebuah kehidupan itu diberi metafora “perjalanan”. Mengapa perjalanan? Ya perjalanan adalah aktivitas yang berlangsung secara dinamik, yang dimulai di titik awal dan berujung pada titik akhir. Ini sejalan dengan pandangan kristiani tentang kehidupan yang bersifat linier dan bukan pandangan yang siklis. Hidup kita adalah sebuah garis memanjang dari A hingga Z dan kita mengukir karya terbaik selama hari masih siang diantara A dan Z itu.

 

Pandangan hidup yang siklis adalah bahwa hidup itu melingkar-lingkar : lahir, hidup, mati, hidup lagi dengan inkarnasi dan seterusnya berulang-ulang seperti lingkaran. Hidup tak bisa diulang; ibarat kaset, hidup tidak juga bisa “direwind” atau “diforward”. Hidup itu dijalani saja dengan syukur dan sukacita, sesuai dengan “rundown” atau “grand skenario” yang ditetapkan oleh Yang Diatas.

 

Akhir-akhir ini cukup populer lagu pop rohani yang berjudul “Hidup adalah kesempatan” yang konon diciptakan oleh Pdt. D. Surbakti. Lirik lagu ini harus dibaca seluruhnya sehingga menjadi jelas message yang ditekankan oleh komposer. Jika judul lagu ini saja yang dibaca tanpa mendalami isi pesan dari seluruh lirik bisa membawa kita kepada pemahaman “mumpungisme”. Hal seperti itu tidak akan terjadi andai judul lagu itu misalnya “Hidup Adalah Berkat”, karena judul seperti ini sudah amat positif dan definitif, yang akan membantu menghindarkan pembaca dari asosiasi yang cenderung ke arah “mumpungisme”.

 

Judul dan lirik lagu-lagu, utamanya lagu gerejawi, yang berisi pesan-pesan teologis memang harus jelas, “clear”, “attractive” yang mampu mengekspresikan iman umat yang teguh kukuh kepada Allah. Dalam konteks ini Yayasan Musik Gereja Indonesia (Yamuger) didorong untuk menghadirkan lagu-lagu pujian umat yang dari segi bahasa/lirik, teologi dan melodi benar benar teruji dalam arti sebuah pujian yang merefleksikan spiritualitas umat dalam perjalanan ziarahnya di kekinian dunia.

 

Menarik sekali karena Mikha 4 : 5 ini menampilkan dua kali kata “berjalan” yang antagonistik, yaitu berjalan demi “nama allahnya” dan berjalan *demi nama TUHAN Allah*. Ungkapan antagonistik ini dikedepankan oleh karena realisme empirik pada saat itu, abad ke-8 SM di Kerajaan Yehuda, memang seperti itu. Ada sekelompok orang yang cukup puas “berjalan demi allahnya” (allah dengan huruf a kecil). Kelompok ini membutakan mata terhadap eksistensi Allah yang hidup, Allah yang bertindak dalam sejarah, Allah yang membebaskan, Allah yang memanusiakan manusia!

 

Sebenarnya berjalan demi nama allah itu amat amat riskan dan rawan, sebab allah dengan huruf a kecil itu *setara* dengan manusia, allah seperti itu lahir dari rahim ide manusia. Dia bukan Allah yang transenden, yang diimani umat beragama pada umumnya, bukan Allah yang sakral.

 

Mikha dengan tegas menyatakan “….biarpun segala bangsa…; tetapi kita….” Gaya bahasa yang mengedepankan kontradiksi dan paradoksal ini secara sengaja diungkapkan untuk menampilkan keberbedaan, dimensi spesifik dari komunitas kristiani sebagai umat pilihan Allah. Gaya seperti ini beberapa kali kita temukan baik dalam PL (misalnya Yosua 24:15) atau Perjanjian Baru (Matius 5 : 43,44)

 

Sebagai umat pilihan Allah keberimanan umat tidak boleh meniru cara beragama yang umum yang mungkin dilakukan oleh mayoritas bangsa-bangsa di zaman itu. Umat Allah tak boleh kena pengaruh atau bahkan tunduk pada “agama mayoritas” di zamannya. Umat pilihan yang jumlahnya mungkin tidak besar, harus menampilkan identitasnya secara jelas dan kuat sehingga bangsa-bangsa lain mengubah paradigma keberagamaannya dari *menyembah allah* menjadi *menyembah Allah*.

 

Kita telah berjalan tujuh hari di era tahun 2018 ini, tantangan makin berat di depan kita terbentang apalagi jika Sara dijadikan isu sentral dalam Pilkada serentak tahun ini. Biarpun segala bangsa akan berjalan sesuai dengan agama mereka masing-masing tetapi kita akan berjalan demi nama Allah dalam Yesus Kristus untuk selamanya dan seterusnya. Cobaan, hambatan, derita, persekusi dan berbagai derita mungkin akan kita alami. Tetapi berjalan bersama Yesus tetap indah dan amazing. Mari berjalan terus walau jalan Kristus penuh bukit batu dan tandus

 

Selamat berjuang. God bless.

 

*Weinata Sairin*

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here