Menggoreng Konflik Perdamaian  Israel – Palestina

0
1500

 

 

Oleh:  Jeannie Latumahina

 

 

Baik rakyat  Palestina maupun rakyat Israel, sebenarnya merindukan hidup yang damai. Oleh sebab itu, tidak pantas dunia luar siapa pun bangsa dan negara di muka bumi ini, memanaskan situasi.

 

Yang patut dilakukan adalah mendorong usaha perdamaian. Jika kita peduli pada nasib rakyat di sana, maka kita akan membantu upaya untuk membawa damai.

 

Seperti kita ketahui bersama bahwa Israel telah memproklamasikan Republik Israel pada tanggal 15 Mei 1948. Negara-negara tetangga langsung menolak kehadiran Republik Israel. Maka kemudian perang dan pertikaian berkecamuk hingga kini.

 

Berbagai upaya perundingan damai seringkali terganggu oleh ulah kelompok garis keras yang lebih menyukai tindakan ekstrem.

 

Kedua belah pihak baik Republik Palestina maupun Israel memiliki pemimpin garis tengah, namun pada kenyataannya pemimpin garis keras lebih mendapat publikasi luas.

 

Dengan demikian yang paling menderita dari konflik Israel – Palestina adalah perempuan dan anak-anak. Sejak kecil anak-anak mereka sudah tercekam prasangka untuk saling membenci dan mendendam.

 

Konflik  Israel – Palestina , semakin menjelma menjadi lingkaran setan ketika muncul anggapan keliru bahwa konflik tersebut adalah konflik agama Islam dengan agama Yahudi.

 

Fakta yang ada adalah banyak warga Palestina  juga beragama Yahudi dan beragama Kristen Maronit, Ortodoks, Katolik dan Protestan. Demikian juga sebaliknya, banyak pula warga Israel beragama Islam dan Kristen.

 

Keliru juga jika  beranggapan bahwa negara Israel itu identik dengan umat Allah dari  zaman penulisan Alkitab. Yang benar adalah Republik Israel sekarang adalah sebuah entitas geopolitik, padahal umat Allah pada zaman penulisan Alkitab adalah entitas sosioteologis.

 

Negara Israel yang merupakan hasil konsensus pasca PD II, atau dengan kata lain, negara Israel yang sekarang adalah produk kolonial pasca perang dunia II, bukan model seperti yang tertulis di dalam Alkitab.

 

Semakin runyam dan panas masalah Israel – Palestina ketika keputusan Donald Trump, Presiden Amerika menyetujui perihal status Yerusalem menjadi ibukota Israel.

 

Putusan Donald Trump, tidak terlepas dari politik luar negeri Amerika Serikat yang sangat ditentukan oleh posisi partai politik Republik atau Demokrat dalam loby-loby politik yang sarat kepentingan.

 

Jelas putusan Donald Trump tidak bisa terlepas dari situasi perpolitikan dalam negeri Amerika Serikat yang dikuasai partai Republik.

 

Partai Republik dengan kebijakan politik domestik yang kuat, dan lobby kekuatan ekonomi Yahudi yang cenderung mendikte.

 

Dengan dukungan kiblat teologi premilenial dispensationalist, teologi yang memahami Israel / Yerusalem baru tergenapi sekarang.

 

Teologi ini berhasil mengungguli posisi teologi Kristen supersesionist yang memahami Israel/ Yerusalem baru tergenapi nanti.

 

Donald Trump melihat situasi perpolitikan Nasional Amerika sebagai momentum yang dianggap tepat untuk mengukuhkan kekuatan visionernya yang ia posisikan berbeda dibanding dengan presiden sebelumnya yang berasal dari partai demokrat, dimana selama ini terlalu lembek dalam kebijakan politik luar negeri  Amerika Serikat.

 

Menyingkapi persoalan Yerusalem sebagai ibu kota Israel, sebenarnya masalahnya adalah bukan dimana letak Ibukota  Israel, tetapi bagaimana Israel sebagai sebuah negara, mampu memanusiakan rakyat Palestina, bukan sebagai warga negara kelas dua.

 

Itulah sebabnya posisi Yerusalem sebagai ibu kota Israel masih menjadi wilayah netral. Selama Israel tidak bisa memberikan hak hidup yang setara pada rakyat Palestina.

 

Perjuangan Bung Karno, Presiden Jokowi dan seluruh rakyat Indonesia  terhadap Palestina adalah pada persoalan hak hidup setara bersama Israel. Menolak semua cara arogansi kekuatan dan kekuasaan.

 

Hal ini jelas tercermin dalam mukadimah UUD 1945, kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Sehingga Israel kepada dunia harus dapat membuktikan keadilan bagi rakyat Palestina.

 

Kita semua mengharapkan keadilan dan kedamaian untuk semua rakyat Palestina  dan rakyat Israel.

 

Presiden Jokowi dalam menyingkapi situasi dunia yang berkembang memanas, akibat pernyataan Donald Trump, terlebih juga menyebutkan nama Indonesia seakan menyetujui dan mendukung kebijakan tersebut.Presiden segera merespons baik secara langsung, meminta keterangan Duta Besar Amerika.Jokowi menyatakan dengan  tegas posisi Indonesia terhadap Israel – Palestina.

 

Tentunya implikasi dari pernyataan  Presiden Jokowi selain kepada dunia Internasional, juga sangat berpengaruh terhadap situasi dalam negeri sendiri.

 

Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam waktu belakangan ini, isu- isu Sara semakin berkembang oleh dinamika politik praktis.Maka kecepatan Presiden Jokowi dalam merespon balik terhadap situasi yang memanas, untuk menghindari kegaduhan politik, tentu saja hal ini memberikan nilai positif menjelang tahun politik 2018 mendatang.

 

Dengan demikian maka isu Yerusalem tidak dapat dipergunakan lagi untuk mendeskreditkan pemerintah oleh berbagai kelompok berseberangan.Yang kerap membuat kegaduhan pada tingkat akar rumput, sebagaimana yang selama ini terjadi dalam waktu belakangan.

 

Keterlambatan dalam merespon balik situasi Yerusalem, jelas sangat berpotensi menjadi energi membelah masyarakat dan tentu hal ini sangat merugikan kinerja Pemerintah Indonesia.

 

Maka sudah seharusnya upaya penyelesaian konflik Israel – Palestina menuju perdamaian, juga diharapkan menjadi dasar bagi kesatuan kebangsaan Indonesia, yang sedang terus menerus mengalami krisis pembelahan oleh dinamika politik yang sedang memanas.

 

Kediri,16 Desember 2017

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here