Pdt. Weinata Sairin:”Opus Caritatis Pax. Perdamaian adalah buah cinta kasih.”

0
1231

Kata “damai”, “perdamaian” dan beberapa kata turunannya amat dikenal dalam kehidupan kita sehari-hari. Dalam dunia yang makin garang, keras, bertabur konflik, apalagi disesaki asap mesiu maka kata “damai” dan atau “perdamaian” menjadi amat populer dan diharapkan perwujudannya dalam dunia nyata. Dunia kita dalam beberapa waktu terakhir adalah dunia yang bersimbah darah, di wilayah manapun di dunia ini. Jiwa manusia nyaris jatuh harga, bahkan tak ada harganya. Seserorang bisa saja tiba-tiba dibakar massa karena dituduh mencuri pengeras suara yang ada di rumah ibadah, dan ternyata kemudian tuduhan itu tiada terbukti. Ini bukan episode dari sebuah cerita sinetron stasiun televisi swasta yang sedang naik daun. Ini kisah nyata yang real terjadi dipinggir ibukota.

Pembunuhan acap terjadi bukan saja di bukit-bukit Papua tetapi juga ditengah-tengah apartemen di jantung kota. Kita sedang berada dalam sebuah Indonesia yang sama sekali lain dari Indonesia yang kita baca dalam narasi-narasi agen pariwisata, dan yang mempresentasikannya dengan amat yakin ke berbagai segmen. Negeri yang ramah telah berproses menuju sebuah negeri berlumur darah, negeri dengan memar, lebam dan luka menganga.

Kita semua terperangah dengan realitas konkret negeri tercinta ini yang menampilkan kontradiksi begitu kuat dan tajam. Per statistik kita ini (hampir) seratus persen adalah umat yang menganut agama, umat yang berketuhanan Yang Maha Esa, umat yang amat religius; yang religiusitasnya minimal amat signifikan terwujud pada hari-hari raya keagamaan. Namun secara praktis operasional, keberagamaan kita tidak selalu muncul. Roh agama tidak menguasai dan tidak menjadi _imperatif_ dalam tubuh dan diri kita. Kita diperintah dan dikendalikan oleh roh individual, roh egoisme, roh primordial, roh nafsu dan serakah. Bukan roh/ ruh/ruach agama. Ada ambivalensi, ada ‘split of personality’ pada titik ini.

Kita semua prihatin menghadapi kenyataan ini, kenyataan dunia yang makin keras, sementara umat beragama tidak seluruhnya dalam posisi mewujudkan keberagamaan yang penuh yang tidak ambivalen. Realitas ini mengganggu kehidupan yang damai, kehidupan yang penuh harmoni. Siapapun dan dimanapun sangat mendambakan suasana damai.

Dalam KBBI kata “damai” diartikan sebagai “tenang, tenteram, tak ada perang, tak ada kerusuhan”. Sesudah terjadinya berbagai konflik didaerah-daerah di era reformasi kita membaca di kantor Koramil, Kodim, dan kantor-kantor lainnya spanduk-spanduk yang berbunyi “Damai itu Indah”. Damai, perdamaian memang amat dibutuhkan oleh umat manusia, dalam era apapun.

Dalam Pembukan UUD NRI 1945 alinea ke-4 ditegaskan bahwa pemerintah Indonesia berkewajiban untuk ikut melaksanakan ‘ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian yang abadi dan keadilan sosial….”

Dunia yang tertib menurut para konseptor UUD NRI 1945 adalah dunia yang didalamnya ada “perdamaian abadi”. Konsep pemikiran itu lebih dibumikan lagi oleh Hans Kung dalam kuliahnya 9-10 Maret 1989 di Toronto dan Chicago yang menyatakan bahwa “Tidak ada perdamaian diantara bangsa bangsa tanpa perdamaian antar agama-agama”.

Menarik sekali bunyi pepatah yang dikutip diawal bagian ini “perdamaian adalah buah cinta kasih”. Dalam kehidupan rumah tangga implementasi pepatah ini amat jelas. Rumahtangga atau Keluarga yang damai bisa terwujud jika anggota Keluarga hidup dengan saling mengasihi, saling respek dan saling melayani. Jika para anggota selalu cekcok, marah, dendam, berKDRT, tidak percaya, tidak mungkin ada damai dan harmoni dalam rumahtangga. Cinta yang membara, kata-kata indah saling memuji, ungkapan mesra yang tulus, sentuh belai mesra mempesona kesemuanya bermuara pada damai abadi. Ayo hidupkan roh cinta kasih
dalam kedirian dan sejarah kita.

Selamat berjuang. God bless.

Weinata Sairin.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here