Iman Menuntut Perjuangan

0
2812

Oleh: Pdt. Pinehas Djendjengi

2 Petrus 2:17-22
(17) Guru-guru palsu itu adalah seperti mata air yang kering, seperti kabut yang dihalaukan taufan; bagi mereka telah tersedia tempat dalam kegelapan yang paling dahsyat. (18) Sebab mereka mengucapkan kata-kata yang congkak dan hampa dan mempergunakan hawa nafsu cabul untuk memikat orang-orang yang baru saja melepaskan diri dari mereka yang hidup dalam kesesatan. (19) Mereka menjanjikan kemerdekaan kepada orang lain, padahal mereka sendiri adalah hamba-hamba kebinasaan, karena siapa yang dikalahkan orang, ia adalah hamba orang itu. (20) Sebab jika mereka, oleh pengenalan mereka akan Tuhan dan Juruselamat kita, Yesus Kristus, telah melepaskan diri dari kecemaran-kecemaran dunia, tetapi terlibat lagi di dalamnya, maka akhirnya keadaan mereka lebih buruk dari pada yang semula. (21) Karena itu bagi mereka adalah lebih baik, jika mereka tidak pernah mengenal Jalan Kebenaran dari pada mengenalnya, tetapi kemudian berbalik dari perintah kudus yang disampaikan kepada mereka. (22) Bagi mereka cocok apa yang dikatakan peribahasa yang benar ini: “Anjing kembali lagi ke muntahnya, dan babi yang mandi kembali lagi ke kubangannya.”

“Merdeka atau mati!” itulah pekikan para pejuang tanah air kita dalam melawan penjajah demi sebuah kemerdekaan berbangsa dan bernegara. Para pejuang tidak ingin bangsa kita terjajah terus-menerus. Kemerdekaan harus direbut, itulah tekad yang membara dalam dada dan jiwa mereka. Merdeka adalah hak setiap bangsa. Benar. Karena itu harus diperjuangkan. Para pejuang telah memperjuangkan hak bangsa kita. Benar sekali dan tepat sekali perjuangan yang mereka lakukan itu. Sesuatu yang benar memang layak diperjuangkan, jika boleh dengan mempertaruhkan diri dan hidupnya.
Alhasil, bangsa kita memperoleh kemerdekaannya. Kemerdekaan ini harus diisi dengan nilai-nilai dan tujuan yang terkandung dalam kemerdekaan itu sendiri. Para pejuang tentu akan bersedih jika saja mereka melihat bahwa penerusnya tidak mengembangkan nilai-nilai itu. Jiwa mereka akan gelisah jika tahu generasi sesudahnya hanya berpangku tangan justru di zaman kemerdekaan yang menuntut pengabdian aktif. Darah mereka akan mendidih kembali, jika menyaksikan penyelenggara negara sekarang ini bertabiat dan bermental penjajah yang justru dulu mereka perangi. Sebagai pejuang sejati mereka tidak menuntut balas jasa, yang mereka tuntut hanyalah kesediaan setiap anak bangsa untuk meneruskan perjuangan mereka.

Dalam kehidupan beriman diperlukan ‘sosok pejuang’ yang berani mempertaruhkan hidupnya demi iman itu sendiri. Ia akan bergerak dalam motto “berani karena benar” dan bukan “takut karena salah”. Iman adalah kekuatan dalam menjalani hidup baru, yaitu hidup yang berani melepaskan “hidup lama (=hidup dalam kegelapan). Mereka yang mengaku beriman tapi tidak berani melepaskan/meninggalkan kehidupan lama bagaikan ‘guru-guru palsu’ dalam pembacaan tadi. Dijelaskan di situ bahwa guru-guru palsu berkoar-koar tentang janji kemerdekaan (kebebasan dari hidup lama), tetapi mereka sendiri hidup dalam kebinasaan. Lebih buruk lagi, mereka telah hidup dalam kekudusan Kristus tapi kemudian kembali melakukan dosa. Orang seperti ini bagaikan “anjing yang kembali kepada muntahnya dan babi yang mandi kembali lagi ke kubangannya” (ay 22). Penulis 2 Petrus menyayangkan keadaan mereka. Lebih baik mereka tidak mengenal Jalan kebenaran (Kristus) sama sekali dari pada mengenal-Nya tapi kembali berbuat dosa. Bagi mereka yang berlaku seperti itu (tanpa bertobat kembali) telah tersedia tempat dalam kegelapan yang paling dahsyat (ay 17).

Menjadi pejuang iman adalah adalah panggilan bagi setiap warga gereja (terlebih lagi para pelayannya). Panggilan itu membutuhkan konsistensi, maksudnya bertindak sesuai dengan apa yang ia imani. Ia melakukannya tanpa henti, tanpa berdalih dan tanpa terpengaruh oleh apa pun yang mengitarinya. Jika ia berkata tentang kebaikan maka itu jugalah yang dilakukannya. Jika ia telah berikrar untuk melayani, maka hidupnya benar-benar melayani tanpa menunggu dan tanpa menuntut. Sadarilah bahwa kemandekan pelayanan terjadi karena banyak orang yang bersikap menunggu dan bahkan menuntut.
Selain konsistensi, panggilan iman juga membutuhkan kasih dan pengorbanan hidup. Orang beriman yang hidup tanpa kasih dan pengorbanan sulit diharapkan menjadi benih-benih gereja. Ingatlah bahwa pengorbanan para pelopor gereja pada masa lampau telah menjadi benih pertumbuhan gereja di kemudian hari. Gereja kita akan kehilangan ‘daya tumbuhnya’ jika tidak diisi dengan kasih dan pengorbanan warganya.

Hidup sebagai pejuang iman yang konsisten, penuh kasih dan pengorbanan, pada gilirannya akan membentuk kepribadian yang kuat dan teguh. Ia tidak mudah diombang-ambingkan oleh apa pun yang terjadi. Dengan begitu ia akan menjadi pribadi yang berdaya guna dalam kehidupannya di tengah-tengah masyarakat. Tidak diragukan lagi bahwa orang seperti itu pasti akan menyumbangkan sesuatu yang baik bagi kehidupan bersama. Dengan memberikan sesuatu yang baik bagi kehidupan bersama, bukankah kita telah mengisi kemerdekaan ini secara nyata melalui kehidupan kita?

Jangan lepaskan iman untuk tampil di tengah masyarakat secara berkualitas. Negara kita terpuruk karena banyak penyelenggaranya yang memakai iman hanya sebagai topeng belaka. Akan tetapi pada kenyataannya, mereka melakukan kejahatan. Kata-kata perjuangan, keinginan untuk peduli dan berkorban demi rakyat hanyalah hiasan bibir. Jika mereka konsisten dan betul-betul peduli serta mau berkorban, negera kita tentunya sudah jauh lebih maju dari apa yang kita alami sekarang ini. Di sinilah kita akan membuka mata kita bahwa untuk menjadi pengabdi bangsa yang baik seseorang harus berangkat dari kehidupan imannya yang baik. Kehidupan iman yang baik membutuhkan kerelaan berjuang demi nilai-nilai iman itu sendiri.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here