Pdt. Weinata Sairin:  “Not to fix blame for the past but to fix the course for the future” (John F. Kennedy)

0
1428

Dalam hidup ini ada banyak dari antara kita yang suka membuat “execuse” dan atau mencari ‘kambing hitam’. Suatu saat seseorang tidak mempersiapkan diri dengan baik untuk menghadapi wawancara dalam rangka merekrut pimpinan baru di sebuah lembaga. Ternyata ia tak mampu menjawab pertanyaan dalam wawancara itu dengan baik, jujur dan cerdas sehingga ia dinyatakan gagal dalam wawancara itu. Kegagalan dalam wawancara berarti ia tidak termasuk dalam calon yang akan mendapatkan posisi baru di lembaga itu. Ia kemudian membuat berbagai macam alasan tentang ketidak berhasilannya dalam wawancara itu. Ia katakan pertanyaan dalam wawancara itu terlalu mengada-ada dan tak ada kaitan dengan tugas-tugas seorang pimpinan di sebuah lembaga.

 

Ruangan tempat pelaksanaan wawancara itu terlalu dingin ACnya sehingga menganggu konsentrasinya. Lalu ia juga menyatakan bahwa ia sengaja memang di skenariokan tidak lulus dalam wawancara itu karena ia adalah orang dari etnik tertentu. Ia sama sekali tidak bicara bahwa ia memang tidak melakukan persiapan apapun dalam menghadapi wawancara itu. Ia anggap wawancara itu sekadar formalitas saja dan ia yakin akan lulus. Namun ketika dalam wawancara itu kepadanya di sampaikan sebuah studi kasus ia sama sekali tak bisa merumuskan solusi cerdas bagaimana mengatasi masalah yang ada dalam studi kasus tersebut.

 

Mencari ‘execuse’ (alasan pemaaf) atau menghidupkan ‘kambing hitam’ agaknya telah menjadi bagian dari sejarah kehidupan umat manusia. Realitas itu terjadi hampir di semua aspek kehidupan kita, bukan hanya di dunia politik saja. Yang ‘dikukuhkan’ sebagai kambing hitam itu bisa apa saja : keadaan, periode zaman tertentu, orang per orang, benda-benda, dan sebagainya. Uraian dalam Alkitab (Kitab Suci umat Kristen dan Katolik) dalam kasus Hawa yang memakan buah yang dilarang oleh Allah, memberi afirmasi bahwa hal yang berkaitan dengan ‘kambing hitam’ itu adalah cerita yang sudah terjadi dalam awal sejarah manusia. Dalam Alkitab diceritakan bahwa tatkala Allah mendesak Adam mengapa ia memakan buah yang dilarang itu, Adam tidak sportif menjawab bahwa itu adalah kesalahannya dan menyatakan ia bertanggungjawab atas tindakannya itu. Adam malah ‘melahirkan’ kambing hitam. Adam mengatakan kepada Allah “perempuan yang Kau tempatkan di sisiku itu yang memberikan kepadaku buah itu, maka kumakan!”

 

Diawal sejarah manusia, maka kisah tentang execuse dan kambing hitam itu telah dimulai dan kemudian kisah itu menjalari relung-relung sejarah kemanusiaan dari waktu ke waktu, menembus abad dan zaman bahkan tetap hadir dalam peradaban modern sekarang ini menjadi bagian integral dari kedirian umat manusia. Bagi Adam di zaman itu, perempuan bernama Hawa itulah yang menyebabkan dia tergoda untuk memakan buah itu. Andaikata disisinya tak ada Hawa, maka Adam takmungkinlah mau menikmati buah terlarang itu. Jika dielaborasi maka kambing hitam dalam kasus buah terlarang itu bisa saja meluas dan tidak berhenti pada Hawa. Dalam zaman modern sekarang ini kambing hitam juga bisa amat luas dan menambah kerumitan dalam memahami esensi sebuah permasalahan.

 

Memang kita harus berupaya untuk tidak membuat execuse atau menghidupkan kambing hitam atau juga mempersalahkan sesuatu atau seseorang apabila kita mengalami kegagalan dalam menjalankan sebuah program. Kita harus merancang sebuah program dengan lebih baik, cermat perhitungannya, jelas konsekuensi dan resikonya. Kita sudah biasa membuat Plan A, Plan B atau Plan C dalam rangka pelaksanaan program dengan berbagai kalkulasinya. Jika sebuah program, dalam pelaksanaannya kurang berhasil atau gagal, maka tak usah kita membuat execuse atau mencari kambing hitam, kita lakukan saja analisis dan evaluasi terhadap hal tersebut termasuk jika Plan A, Plan B, Plan C juga tidak berhasil. Ada kasus-kasus dari pengalaman empirik, ternyata kita membuat execuse atau kambing hitam untuk ‘menutupi’ ketidakmampuan kita dalam merumuskan sebuah program dengan baik.

 

Sebagai insan yang beragama kita selalu berdoa kepada Tuhan agar tugas pelayanan, pekarjaan kita dapat dijalankan dengan baik. Kita berdoa dan sekaligus juga berusaha sehingga doa dan karya itu integral, menyatu. Bukan hanya bekerja tanpa doa atau berdoa tanpa kerja. Keduanya : doa dan kerja tak bisa dipisahkan. Andai kata sebuah program yang kita kelola itu tidak berhasil itu harus kita maknai bahwa memang belum saatnya, kita harus memulai lagi dengan kerja keras. Jika Tuhan berkenan, sesuai dengan *kairosNya* (waktuNya Tuhan) maka kita akan berhasil. Tak perlu ada execuse dan kambing hitam bagi program yang tidak berhasil, tak usah menuding siapapun, tak usah _memblame_ sejarah masa lampau atau rezim manapun. Berdoa terus dan bekerja tiada henti ! Kita diingatkan oleh JF Kennedy agar kita tak usah menuding masa lampau tetapi rumuskan tindakan menuju masa depan!

 

Selamat Berjuang. God Bless.

 

Weinata Sairin.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here