Pdt. Weinata Sairin: “Sero venientibus ossa. Bagi mereka yang terlambat hanya akan mendapat tulang-tulangnya saja”.

0
1288

 

 

Tulang (tulang binatang) acapkali di asosiasikan dengan benda tak berharga, yang biasanya ada di tempat sampah. Manusia menikmati dagingnya dan tulangnya di buang dan biasanya diperebutkan oleh kucing dan atau anjing. Tulang juga sering menjadi semacam “penghambat” terutama bagi anak kecil yang belum mahir bagaimana cara menikmati ikan. Itulah sebabnya dengan bantuan teknologi, bisa di produksi ikan bandeng tanpa tulang, atau goreng ayam tulang lunak. Dengan teknologi ini anak-anak dapat makan ikan tanpa takut “ketulangan” dan nafsu makan mereka ikut bertambah.

 

Dalam huhungan dengan makanan, tulang memang tidak mendapat tempat yang bagus. Tulang itu disisihkan di piring makan, yang akhirnya dibuang ke tempat sampah. Dalam konteks tulang yang sudah digarap teknologi maka tulang itu lembut dan bisa saja di mamah bersama dengan makanan yang kita nikmati; tulang bisa menyatu dengan ikan atau daging ayam.

 

Kata “tulang” banyak kita temukan pada peribahasa, juga pada puisi dan bentuk-bentuk lain. Ada peribahasa yang cukup populer seputar ‘tulang’. Contohnya : “Bagai anjing menggonggong tulang”. Peribabasa ini menggambarkan seseorang yang tidak pernah puas terhadap apa yang sudah ia miliki. Ia selalu berusaha dengan berbagai cara untuk menambah miliknya.

 

Atau “Lebih baik berputih tulang dari pada berputih mata”. Peribahasa ini ingin menggambarkan pemikiran bahwa lebih baik mati dari pada menanggung malu.

 

Peribahasa bahasa Indonesia dengan menggunakan kata “tulang” cukup banyak dalam beragam makna walau tidak terlalu populer. Dalam puisi Chairil Anwar yang amat terkenal “Karawang Bekasi” kata ‘tulang’ mendapat tempat yang cukup _terhormat_! Beberapa kali kata ‘tulang’ dan ‘tulang-tulang’ disebut secara berganti-ganti dalam puisi itu dan jika kita membaca puisi itu dengan penuh penghayatan, penempatan ‘tulang’ dan ‘tulang-tulang’ cukup membuat merinding. Mari simak beberapa penggalan puisi “Karawang-Bekasi” berikut.

 

“…..Kami cuma tulang-tulang berserakan/Tapi adalah kepunyaanmu/Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan/Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan/Atau tidak untuk apa-apa/Kami tidak tahu/kami tidak bisa lagi berkata…”

 

Penyebutan ‘tulang’ dan ‘tulang-tulang’ oleh seorang Chairil Anwar dalam puisinya ini bukan saja memberi makna spesifik bagi tulang-tulang yang seringkali tergolek pada piring–piring kotor sesudah sebuah pesta usai, tapi sekaligus memberi energi, memberi roh pada puisinya itu. Memang terasa getaran khusus tatkala kita membaca puisi Karawang-Bekasi di hari-hari peringatan Kemerdekaan RI. Melalui puisi itu para pahlawan seolah menggugat seluruh warga bangsa agar kemerdekaan negeri yang diperoleh melalui pengurbanan jiwa raga para pahlawan harus diisi dengan aktivitas pembangunan yang memberi kemaslahatan bagi rakyat jelata. Para pahlawan, yang kemudian telah menjadi tulang-belulang tetap mengingatkan agar tujuan kemerdekaan itu suatu saat bisa terwujud dalam ruang-ruang sejarah bangsa kita. Tulang-tulang itu melalui kepiawaian seorang Chairil seakan menggugat dan mengingatkan kita tentang makna kemerdekaan.

 

Sebagai umat beragama kita memahami bahwa pemerintah dan bangsa kita memberi respek kepada para pahlawan bangsa yang berkurban demi kemerdekaan negeri ini. Gugatan ‘tulang-tulang’ dalam puisi Chairil Anwar telah didengar oleh pemerintah dan akan diperbarui dari waktu ke waktu. Pepatah yang dikutip dibagian awal tulisan ini memberi pengingatan kepada kita agar di era digital seperti sekarang ini kita tak boleh terlambat apapun alasannya. Terlambat karena macet, pesawat rusak, ada keluarga yang sakit, ban kendaraan terkena ranjau paku di jalan, dan berbagai alasan lainnya tetap tidak punya makna, dan tidak akan pernah mampu mengubah “tulang menjadi daging”. Mari bergegas, dan tetap siuman karena jika kita terlambat kita hanya akan mendapat tulang-tulang saja.

 

Selamat Berjuang ! God bless.

 

Weinata Sairin.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here