PER ASPERA AD ASTRA: MELALUI KESULITAN MENCAPAI BINTANG

0
4205

Oleh: Pdt. Weinata Sairin

 

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang menjadi acuan publik untuk mencari makna kata, arti dan penjelasan sebuah istilah, memberikan narasi yang cukup banyak untuk menjelaskan arti kata *bintang*. Salah satu arti kata ‘bintang’ adalah “benda langit terdiri atas gas menyala seperti matahari, terutama tampak pada malam hari”. Bintang dapat juga berarti orang yang terkenal dalam suatu komunitas; bisa juga bermakna nasib atau peruntungan. Konteks dan bagaimana kata itu digunakan dalam kalimat, itulah yang akan memberi makna secara spesifik. Misalnya kalimat “Ia menjadi bintang dikelasnya” berbeda makna dengan kalimat “Bintangnya sedang naik sekarang”. Kata ‘bintang’ pada kalimat pertama bermakna ‘seorang yang terkenal’ ; sedangkan pada kalimat kedua bermakna ‘nasib atau pruntungan’.

 

Apapun arti dan penjelasan kata ‘bintang’ namun yang pasti ‘bintang’ bukanlah sesuatu yang biasa-biasa saja, bintang mengacu kepada sesuatu yang berharga, bernilai tinggi.

 

Bintang sebagai kata benda ia berada jauh tinggi diatas sana dan andai bukan kata benda ‘bintang’ menunjuk ke sesuatu yang istimewa. Pada waktu-waktu yang lalu kita ingat ada semacam peribahasa “gantungkanlah cita citamu setinggi bintang dilangit. Ungkapan ini ingin mendorong bahwa jika seseorang punya cita-cita, ya bercita-citalah yang tinggi, ingin jadi presiden, ingin jadi panglima, ingin jadi menteri, ingin jadi dokter, ingin jadi insinyur, dan sebagainya.

 

Ungkapan peribahasa itu ingin menegaskan bahwa generasi muda bangsa mesti punya cita cita. Hidup tidak boleh sekadar ada dan mengalir saja mengikuti arah angin. Hidup yang kita miliki yang dianugerahkan Allah mesti punya program dan tujuan yang jelas.

 

Sebagai orang yang beragama kita amat memahami bahwa hidup adalah sebuah *privilege*,sebab itu hidup mesti dimuliakan, hidup mesti diberi makna. Hidup yang terus mengepulkan asap rokok, yang fly dengan narkoba, yang penuh dengan libido berkorupsi, yang menghujat, menista dan melecehkan ‘sara’ yang berbeda dengan kita, yang melawan kebhinekaan, samasekali bukan sebuah hidup yang mengalirkan roh kuasa Transenden, hidup yang bersumber dari Allah.

 

Agama-agama kita mengajarkan agar hidup kita di dunia ini adalah  hidup yang mengamalkan nilai luhur agama, hidup yang saling mengasihi dan bertoleransi, hidup yang mengapresiasi kemajemukan, hidup yang bermakna bagi orang lain, hidup yang seimbang antara dimensi horisontal dan vertikal.

 

Hidup seperti itu adalah hidup yang bekerja keras yang dilandasi nilai agama, hdup dengan mental petarung dan bukan manusia cengeng dibalut pesimisme serta mental ‘minority complex’.

 

Pepatah yang dikutip dibagian awal tulisan ini menyiratkan bahwa cita-cita mulia mesti diraih dengan kerja keras dengan all out tapi dengan tetap menghormati nilai agama, moral, hukum. Mencapai cita-cita takboleh dengan pemeo “pukul dulu urusan belakangan” atau “menghalalkan segala cara”.

 

Kita mesti berjalan pada koridor hukum dalam meraih semua cita-cita apapun. Melaui berbagai kesulitan kita bisa mencapai bintang. Kita bercita-cita ingin jadi direktur, rektor, dirjen, presiden, walikota, bupati, gubernur, dan jabatan apapun juga amat terbuka. Capai dan raihlah itu dengan tetap menghargai martabat kita sebagai manusia ciptaan Allah, dan menaati ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Selamat berjuang.God bless.

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here